Pengajar dan Belajar

by - 01.49


Waktu sudah menunjukkan 00:48 WIB tapi aku juga belum bisa memejamkan mata. Salahku sih, pas masuk jam tidur buka twitter. Baca thread orang pikiranku jadi kemana-mana, nggak bisa tidur mikir banyak hal.

Tadi ada thread tentang menulis, sebenarnya menulis itu bisa memperkuat ingatan kita pada hal-hal yang telah kita pelajari atau baca. Aku jadi ingat sebuah hal. Beberapa kali ditanya sama orang, pengen melanjutkan S2 nggak? Aku jawab senyum dan bilang belum tahu. Padahal sebenarnya aku pengen sekali, tapi alasanku bukan untuk menambah gelar dan ijazah, atau ingin menambah kompetensi. Kalau nurutin nambah kompetensi mah banyak banget yang pengen aku pelajari. Lalu alasannya apa? Alasanku absurd sih, karena aku baru menyadari esensi belajar detik-detik mau lulus kuliah. Lucu ya? Atau nggak lucu? Bagiku sih sangat konyol. Helloooo, terus kamu kuliah 3,5 tahun ngapain aja?

Jadi gini, aku memulai kuliah dengan sebuah alasan yang salah. Atau lebih tepatnya aku nggak tahu apa alasanku untuk kuliah pada waktu itu. Gita Savitri pernah cerita di vlognya, di Jerman orang tua baru nempuh S1 itu hal biasa. Karena di sana orang kuliah karena tahu apa alasannya. Ketika lulus Senior High School mereka belum tahu alasan untuk apa kuliah ya mereka belum ambil kuliah. Karena orang di sana sadar tugas belajar bukan untuk orang yang sekolah atau kuliah aja. Siapa pun itu punya kewajiban belajar.

Nah, masalahnya adalah aku kuliah hanya karena anak-anak seusiaku pada waktu itu kalau nggak kerja ya kuliah. Aku ya ngikut aja. Pengen banget kuliah sih waktu itu, tapi aku nggak punya alasan kuat kenapa harus kuliah. Em, atau lebih tepatnya aku kuliah agar bisa dapat pekerjaan yang lebih enak gitu.

Alhasil, aku merasa pas kuliah nggak terlalu belajar banyak hal. Cuma dikit yang nyantol. Karena belajar pas mau ujian, nilai bagus, yaudah. Nggak ada effort apa-apa untuk menambah kompetensi. Tapi nih, kalau dipikir-pikir, semisal saat ini aku mau kuliah lagi apakah aku akan dapat lingkungan belajar yang mendukung? Mungkin iya, tergantung sebagus apa universitas tempat aku kuliah. Eh ndak, mungkin tergantung semujur apa aku bertemu dosen yang bisa bener-bener punya jiwa pengajar.

Hubungannya nulis dengan dosen apa? Jadi akhir-akhir ini aku merasa kesulitan memahami sebuah bacaan karena tidak ada teman diskusi. Eh ada ding, tapi nggak seenak diskusi di kelas yang lebih luas. Aku juga baru sadar bikin makalah atau paper itu berguna sekali untuk menguatkan ingatkan kita tentang apa yang kita baca. Itu makanya aku sering jadiin apa yang aku baca atau dengar melalui tulisan, biar inget. Baca, paham, nulis, menyampaikan, diskusi. Pola itu yang sering dilakukan pas kuliah. Kok ya aku baru sadar, kalau ternyata hal-hal itu sangat penting juga untuk kemampuan berpikirku.

Dulu aku diajar dosen yang menurutku kurang objektif dalam menilai mahasiswanya. Dilihat ni anak deket nggak sama beliau, kalau iya kasih nilai lumayan. Ni cewek cantik nggak, kalau iya kasih A dong. Percaya atau tidak, hal ini benar-benar terjadi. Aku jadi merasa nggak punya tantangan belajar di sana. Kadang, presentasi rasanya juga seperti debat kusir karena dosen sendiri tidak menengahi karena memang tidak memperhatikan. Nah, di semester 1 ada matkul pancasila sistemnya sharing universitas. Aku kuliah dengan anak dari fakultas mana pun dan parahnya dari semester berapapun. Rezekiku milih kelas yang ternyata isinya anak Hubungan Internasional semester 3 pas itu. Apalagi dosennya sangaaaat objektif. Nilaimu adalah tanggung jawabmu sendiri. Matih! Karena aku paling nggak nyantol sama pelajaran sejarah, undang-undang, semacam itu. sehari sebelum matkul itu pasti aku sempetin baca buku dan buka web untuk lihat isu terkini. Karena dosennya sering bahas isu-isu terkini dan ditanyakan ke mahasiswa secara random. Mahasiswa baru digituin, panas dingin rasanya. Dinginnya AC ruangan kelas ndak ada apa-apanya dibandingkan dinginnya tubuhku. Wkwkwkw

Tapi dari situ aku jadi merasa tertantang, bener-bener belajar. Ya emang dasar belajar nggak ikhlas ya gini ini nih. Harus dipaksa. Lalu suatu ketika aku pernah nggak masuk dua atau tiga kali pertemuan karena opname. Aku ketinggalan banyak diskusi, nggak ada kesempatan menjawab pertanyaan otomatis nilaiku pasti kurang. Setelah ujian akhir semester, aku menghubungi dosen melalui e-learning. Aku bilang minta tugas tambahan karena sepertinya nilaiku sangat kurang karena pernah beberapa kali tidak masuk. Beliau malah bales, “Kamu sudah lihat hasil UAS? Coba lihat, ya. Saya rasa nilai kamu sudah lebih dari cukup.” Kubuka nilaiku B. Lumayan. Dapat nilai B di matkulnya beliau itu sudah sangat untung sekali. Beliau ini sangat transparan dengan nilai, tidak seperti dosen lain. Diunggahlah komposisi nilai semua mahasiswa. Aku kaget, nilai UASku menyentuh angka 9. Aku sampai mengirim pesan ke beliau karena aku merasa nilai UAS ku sangat jelek, nggak bisa ngangkat ketertinggalanku. Jawabku juga memakai bahasa sederhana sekali. Nggak terlalu panjang. Dan, yang bikin aku semakin nggak percaya nilaiku paling tinggi dibandingkan mas mas dan mbak mbak yang sering dapat nilai bagus pas diskusi. Kalau ngomong wuuss lancar banget, kelihatan pinter banget. Aku nggak nyangka. Aku senang bukan karena nilaiku, tapi aku merasa dihargai dengan jawaban bahasa sederhanaku.

Tapi ternyata, dosen seperti beliau rasanya sangat langka. Aku pernah kecewa ketika aku dipanggil DPA-ku. Beliau memintaku untuk mengulang mata kuliahnya, karena nilaiku C. Alasan beliau memberiku nilai C karena analisisku terlalu sedikit, tidak panjang lebar seperti teman yang lain. Aku jadi mikir, kenapa dosen sepintar beliau lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas. Andaikan beliau bilang analisisku salah atau kurang berisi aku pasti menerima. Tapi ini alasannya hanya karena sedikit lembarannya. Alasan macam apa ini pak. Kuiyakan tanpa babibu. Yaudahlah nggak apa-apa, biar aku merasakan kuliah sama adik tingkat. Heuheu menghibur diri sendiri.

Lalu di semester 7 pas sibuk-sibuknya PPL aku mengambil matkul Kewarnegaraan. Katanya sih nggak wajib, SKS ku juga udah lebih dari cukup. Tapi anak jurusan lain ngambil matkul itu. Aku khawatir kalau nanti di akhir bermasalah. Akhirnya, aku mengajak seorang teman untuk ngambil. Aku bilang, sekalipun nanti nilainya dibuang dari ijazah pun aku nggak apa-apa. Toh yang penting aku punya ilmunya. Temanku mengiyakan.

Oke, di pertemuan pertama ternyata aku kuliah dengan para maba, aku pun juga maba pas itu. Mahasiswa basi wkwkw

Daaaan, dosennya semacam dosen Pancasilaku dulu. Tegas dan objektif. Aku udah nggak sekaget dulu. Malah suka sekali bertemu dengan dosen yang niat ngajar begini. Wkwk

Aku dan temanku yang tua sendiri jadinya sering dijadikan sorotan. Pas itu kita dapat kesempatan presentasi paling awal karena NIM paling atas. Nggak tahu kenapa kalau diajar dosen semacam ini aku nggak takut untuk mengeluarkan pendapatku. Karena kalau salah, sama beliau pasti dibenerin. Dan beliau juga menghargai usaha mahasiswanya bagaimana pun itu hasilnya. Beliau juga bilang untuk membuat paper yang tidak terlalu banyak. Aku cuma bikin 8 lembar. Beliau malah bilang, paper kelompokku isinya tepat, nggak bertele-tele, dan bisa dipahami. Legalah kami.

Diajar beliau bener-bener diperhatikan presentasi perorangannya. Kita benar paham apa yang kita sampaikan atau engga, kita baca naskah atau engga. Suka banget dosen macam ini tuh. Ada beberapa anak yang nggak paham materi yang disampaikan, akhirnya aku dan temanku ini diminta untuk presentasi lagi. Aku inget sih pas itu topiknya tentang cinta tanah air tapi kusangkutin sama bayar pajak. Aku pernah baca orang luar negeri itu merasa bangga jika bayar pajaknya lebih besar karena itu tandanya kekayaannya banyak. Kalau orang Indonesia, makin banyak kekayaannya, makin ogah bayar pajak.

Beliau bilang, “Kalau saya diajar ekonomi sama kalian, saya bakal suka dan betah.”

Ini bukan tentang pujiannya, tapi tentang seorang pengajar yang menghargai setiap usaha anak didiknya. Sampai aku merasa berat untuk ninggalin kelas beliau setelah ujian UAS. Aku ngerasa waktu kuliah yang 2 SKS itu kurang. Karena ilmu beliau tumpah ruah ke kita. Duduk di kelas beliau ada manfaatnya.

Udah panjang aja tulisanku, padahal masih ada yang mau kutulis. Besok lagi, tidur dulu. Udah 01:47. Siap-siap besok diomelin emak karena habis Shubuh tidurnya lebih panjang. Wkwk

You May Also Like

2 komentar