Yang Terpenting Adalah Berani

by - 23.05


@Anikcahyanik
Sebelum berangkat tidur, aku sengaja menyempatkan waktu untuk bercerita tentang pagi yang kulewati hari ini. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi penyemangat. Awalnya begini, beberapa minggu ini aku sibuk mengerjakan proposal skripsi. Alhamdulillah sudah selesai hari Sabtu dan hari Senin ini aku menjadwalkan diri untuk bimbingan. Tapi sehari sebelum bimbingan, dalam bayanganku sudah ada wajah dosen yang menyeramkan. Ekspresi dosen yang bikin mahasiswanya gigit jari. Sampai tadi malam aku tidak bisa tidur. Dan tibalah pagi tadi, bukannya aku bersemangat untuk bergegas ke kampus, nyatanya aku sengaja mengulur waktu untuk menunda bimbingan.

Sayangnya, kemarin aku sudah bilang ke teman kos kalau mau nebeng ke kampus. Nggak enak juga kalau misalnya aku membatalkan dan pasti dia menginterogasi kenapa aku tidak jadi berangkat. FYI aja, teman kosku ini orangnya rajin-rajin banget. Setiap hari aku ditanya sampai mana proposalku, kapan bimbingan, bla bla bla. Itulah cara mereka menyemangati diri ini yang menjadi satu-satunya penghuni kos yang belum melaksanakan seminar proposal.


Dan dengan terpaksa, aku tetap berangkat. Meski dalam perjalanan aku sibuk menata hati jika nanti dosen pembimbingku mengataiku yang tidak-tidak karena proposalku tidak sesuai dengan harapannya. Aku pasrah. Yang penting berangkat, pikirku.

Sesampainya di sana aku bertemu dengan teman magang koperasi dulu. Dia seorang perempuan pendiam, tidak terlalu menonjol, dan pasif. Dia terlihat biasa di mata teman yang lainnya, jujur termasuk dalam penilaianku juga. Tapi betapa aku kaget sekali, kaget sangat melihat lembar bimbingannya ternyata dia sudah acc seminar proposal dan sekarang sedang persiapan jadwal serta berkas-berkasnya.

Aku enggak nyangka orang yang biasa saja di mata orang lain ternyata sekarang berada jauh di depan teman lain yang terlihat lebih pintar dan aktif, kecuali aku yang dasarnya emang mahasiswa biasa banget. Huhu. Nggak pintar, juga nggak aktif. :(

Aku lihat lembar bimbingannya, ternyata dia dibimbing oleh dosen yang terkenal sulit dalam bimbingan karena beliau terlalu perfeksionis dan killer.

Aku iseng nanya ke dia, “Kamu pas bimbingan nggak dimarahin sama Pak X?”

Dengan sedikit memasang muka sebal dia menjawab, “Dimaki-maki saja pernah, kok. Katanya aku nggak paham lah, bla bla bla….”

“Kok kamu kuat aja sih bimbingan sama beliau?” tanyaku kepo.

“Ya mau ngadep kapan pun, mahasiswanya beliau tetap akan dimarahi. Mahasiswa tuh ya sekali pun bener, tetep aja dicari salahnya sama dosen.”

Aku mengangguk-angguk mendengar ceritanya. “Yang penting mah berani aja,” jawab temanku yang katanya sudah revisi lebih dari 6x ini. Dia juga mengaku hampir setiap hari bimbingan. Kuat banget ni cewek, batinku.

“Aku kalau mau bimbingan kadang takut ketemu dosen. Kadang males juga sih,” jawabku sambil nyengir.

“Males kalau diturutin sampai nanti ya tetep males, Nik,” jawabnya.

Obrolan singkat itu serasa menamparku. Ternyata, hasil usaha itu nggak butuh seberapa pintar diri ini, tapi seberapa kamu rajin dan berani melakukan suatu hal. Dan semenjak ketemu dia tadi pagi, ada suntikan semangat yang membuat aku memberanikan diri untuk maju bimbingan.

Aku pernah diberitahu oleh seseorang begini, “Sekeras-kerasnya hati dosen, tetap Allah yang memiliki-Nya. Kalau mau mengambil hati dosen, dekati dulu pemilik hatinya. Insya Allah dengan seizin-Nya, hatinya bisa lunak, tidak peduli sekeras apa pun itu.”

Terima kasih untuk teman tadi yang terlihat biasa tapi nyatanya dia lebih luar biasa dari apa yang orang lain kira. Kalau saja Allah tidak melangkahkan kakiku ke kampus hari ini, mungkin aku nggak akan menemukan ilmu keren ini dari temanku. Ternyata ini ya rencana Allah menyuruhku bimbingan. Padahal aku udah males banget. Pukul setengah sembilan baru mandi. Tapi entah kenapa, aku merasa harus ke kampus hari ini.

Saat pertama kali datang, aku sudah bilang gini ke temanku, “Aku pengen berkasku disuruh pembimbingku ditaruh di meja aja.  Biar orangnya besok tinggal ngasih tahu revisinya. Kalau orangnya baca proposal di depanku, takutnya nanti orangnya tambah marah.” Ternyata benar. Hari ini pembimbingku menyuruhku menaruh proposalku di mejanya karena beliau ada urusan.

Memang, hari ini aku belum berhasil bimbingan, tapi ternyata Allah hari ini sedang membimbingku untuk tetap semangat bimbingan. :)

You May Also Like

0 komentar