Tentang Selembar Kain

by - 22.50




Tahu Ustadz Hanan Attaki, nggak? Ustadz gaul dan kece yang mengemas dakwah menjadi kekinian. Sehingga banyak anak muda Bandung yang berhasil dirangkulnya dengan mendirikan gerakan Pemuda Hijrah.

Sehari lalu saat mendengarkan kajian Ustadz Hanan, beliau bilang seperti ini, “Saya memang mengambil mahzab bahwa bercadar itu sunah, istri saya pun tidak bercadar. Namun saya amat respect terhadap orang yang bercadar. Begitu juga saya mengambil mahzab bahwa celana tidak isbal itu bukan dari segi pakaian, tapi dari segi perilaku. Dimana kita tidak diperbolehkan menyombongkan diri dengan pakaian yang kita kenakan. Tapi saya sangat respect dengan orang-orang yang bercelana tidak isbal.”

Seketika itu juga aku mengapresiasi apa yang beliau katakan. Jika kebanyakan umat muslim mempunyai pemikiran seperti itu. Mereka bisa menerima perbedaan pendapat tentang umat muslim lain. Tidak merasa pendapatnya paling benar dan menghujat umat muslim yang berbeda dengannya. Bukankah damai rasanya? Aku sedang tidak membahas hukum cadar atau fiqih lainnya. Hanya mengungkapkan unek-unek akhir-akhir ini.


Pernyataan Ustadz Hanan membuatku teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah perantauan dan sudah berstatus sebagai mahasiswa baru. Banyak teman yang bilang hati-hati dengan UKM keagaamaan Islam di kampus. Bisa jadi mereka mengajarkan ajaran yang tidak baik dan aneh-aneh. Karena saking hati-hatinya, sama sekali aku tak menyentuh UKM keagamaan. Seakan aku berlari sejauh-jauhnya dari mereka karena takut ‘dipengaruhi’ oleh golongan atau organisasi yang tidak jelas. Seperti banyak kasus yang sudah terjadi di kebanyakan kampus lainnya.

Selama dua tahun lalu aku hidup dalam pergaulan yang tidak religius, aku sering berada dalam lingkaran orang-orang yang menghujat para perempuan berjilbab lebar dan bercadar serta laki-laki berjenggot dan bercelana cingkrang. Bahkan, cara bersedekap shalat seseorang yang berbeda dari pada umumnya pun dinilai sesuatu ajaran yang salah. Karena pemikiranku sering mengonsumsi pemikiran-pemikiran yang mudah menyalahkan banyak orang, aku menjadi menutup diri dengan mereka yang penampilannya seperti yang aku sebutkan di atas. Apalagi kebanyakan organisasi ‘tidak jelas’ beranggotakan para perempuan berjilbab lebar dan laki-laki berjenggot. Aku merasa sangat berbeda dengan mereka, sehingga harus sejauh-jauhnya memberi benteng perbatasan agar tidak bergaul dengan orang-orang seperti itu. Dari segi pakaian, mereka dinilai orang yang fanatik dan berlebihan dalam beragama. Begitulah, kalimat yang sering mampir di obrolanku dulu.

Aku sering berdoa, “Dekatkanlah aku dengan orang-orang yang Soleh dan Solehah. Dan jauhkanlah aku dari orang-orang yang membawaku jauh dari jalan-Mu.”

Semakin ke sini kurasakan aku semakin dekat dengan orang-orang yang berjilbab lebar. Entah, sekarang dalam jangkauanku, begitu mudah sekali melihat laki-laki yang berjenggot. Dan ada saja teman yang mengajak ke kajian orang-orang salaf yang notabene-nya 99% dari mereka bercadar. Sempat aku berpikir, aku berada di tengah-tengah orang yang pernah kujauhi. Dan aku tidak menyangka itu terjadi. Bahkan, bulan puasa kemarin hampir setiap sore tanpa terencana aku mau duduk di Masjid untuk mengikuti kajian UKM Dakwah Kampus yang selama ini kujauhi. Aku merasa ketagihan berdekatan dengan mereka. Karena aku merasa aman mengenakan pakaian yang kupilih saat ini dan merasa lebih semangat lagi untuk memperbaiki diri.

Aku merasa berdosa sekali rasanya pernah ikut-ikutan menghujat dan mencaci mereka. Berada di lingkaran mereka, aku tidak menemui sesuatu yang salah. Meskipun ada beberapa hal pada ajaran mereka berbeda dengan diriku dan pendapat ulama lainnya, tapi itu bukan sebuah alasan untuk mem-black list mereka dari pergaulanku.

Saat berada di titik terendah pada hijrahku, baru aku sadar. Gini ya rasanya dihujat orang. Sakit!Perih!Nyesek! Dan sederetan perasaan tak enak lainnya. Kurasa ini cara Allah memperingatkanku bahwa apa yang kulakukan dulu salah. Dan rasanya wajar jika aku harus merasakan apa yang mereka rasakan saat itu untuk menebus dosa-dosa pada waktu itu.

Aku ingin, apa pun kita, bagaimana pun pendapat yang kita yakini, pada dasarnya kita itu satu yaitu umat muslim. Para umat Nabi Muhammad. Kalau dengan orang beragama non muslim saja kita bisa toleran, kenapa dengan saudara seiman sendiri tidak. Bukankah mayoritas agama di Indonesia itu Islam, lantas kenapa malah orang Islam seakan mempunyai ruang gerak yang sempit? (Kalimat unek-unek akhir-akhir ini. Tapi aku sadar, aku nggak pantes bilang seperti ini! Sungguh! Orang yang dulu pernah menghujat rasanya terlalu sok baik untuk bilang seperti ini)

Kadang aku malu sendiri saat menyadari, oh ini ternyata orang yang pernah aku hujat dulu. Betapa hatiku sejuk sekali melihat kain panjang mereka menjuntai, setiap tutur kata yang keluar adalah berkah dan sama sekali tak ada kata kasar atau bully-an yang mereka berikan. Masya Allah, aku merutuki diri sendiri. Betapa sombongnya aku dulu. Merasa paling benar dengan pendapat sendiri tanpa pernah ingin melek dengan pendapat lainnya. Hingga berujung aku menjadi orang yang tumpul tanpa pernah ingin belajar karena merasa sudah benar dan pintar. Aku merasa kerdil di tengah-tengah mereka. Jauh sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka calon bidadari surga yang mempunyai suara halus dan tidak bernada tinggi dalam berbicara.

Semenjak saat itu aku tidak lagi ingin membenci suatu golongan sebelum aku membersamai mereka. Sebelum aku duduk dan berbincang serta belajar sedikit saja tentang ajaran mereka. Aku menyesal. Sungguh, menyesal sekali. Kenapa tidak dari awal aku menenggelamkan diri di kegiataan keagamaan kampus. Seandainya saja ini dan itu. Ah, lagi-lagi percuma berandai-andai. Waktu tidak akan bisa diulang lagi. Dan berandai-andai pun bagian dari setan dan Allah tidak menyukai. Betapa bodohnya aku saat itu. kenapa otakku tidak berpikir jernih. Bukankah UKM Dakwah Islam di kampusku itu berada di naungan kampus dan di bawah pengawasan rektor? Tentu mereka bukan organisasi yang salah.

Aku merutuki kebodohanku. Setelah setahun terakhir kuliah baru menyadari. Aku tidak pernah memperdebatkan kenapa kamu tidak berhijab syar’i, lantas untuk apa membuang waktumu untuk mengurusi selembar kain yang kini aku pilih menjadi bagian dari hari-hariku. Jangan menjadi sepertiku yang menyesal karena sisa usiaku banyak kugunakan untuk menilai orang lain sampai lupa bahwa aku belum punya apa-apa jika Malaikat Izrail datang pertanda waktuku sudah habis di rumah kontrakan di dunia ini. Aku belum mempunyai bekal untuk bisa menjawab pertanyaan Munkar Nakir.

Aku tidak mengatakan berada di lingkungan baruku adalah jaminan surga. Tidak. Surgaku dan mereka atau bahkan kamu hanya Allah yang menentukan. Bukan aku memaksa untukmu sepaham denganku. Hanya saja, aku ingin kita saling menghargai dan saling menerima satu sama lain. Tak perlu memandang satu sama lain dengan sebelah mata. Cukup pandang aku ini sahabat semuslimmu yang masih pantas untuk kamu jadikan teman. Bagaimana pun pakaian kita, itu pilihan kita masing-masing.

Aku hanya bisa ber-husnudzon saja dengan Allah.  Pasti ada alasan dari semua ini.

You May Also Like

2 komentar

  1. Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilannya saja, kan Mbak Anik? :)

    Aku setuju dengan kalimat: bagaimanapun pakaian kita, itu pilhan kita masing-masing

    BalasHapus