Tentara Langit
Relawan adalah tentara langit yang dibayar
oleh Allah, bukan manusia. (Brand Manager Rumah Zakat Surabaya)
Aku
mendengar quote itu saat mengikuti kegiataan kemah relawan yang dilaksanakan di
Malang pada bulan Maret lalu (jika tidak salah ingat). Kalimat itu masih
membekas dan terpatri abadi dalam benakku. Menjadi sebuah pengingat jika diri
ini mulai ada niat yang melenceng saat menjadi relawan.
Saat melakukan
aksi sosial dengan teman-teman Rumah Zakat lain, tidak ada yang kami cari
selain lukisan senyum para penerima manfaat. Kami pun tak ingin menghamba dari
ucapan terima kasih mereka. Karena sejatinya, ucapan terima kasih patut
diucapkan kepada donatur, bukan kepada kami—karena kami hanyalah relawan yang
tak memiliki banyak harta, hanya waktu luang untuk menjadi jembatan antara
donatur dan penerima manfaat.
Suatu ketika,
jika aku tidak salah ingat pada bulan April lalu. Aku dan beberapa teman
relawan Jember lain melakukan survei ke suatu tempat yang amat pelosok. Tempat itu
jauh dari hingar bingar kota dan tak terjangkau oleh listrik dan sinyal. Kami sedang
melakukan survei untuk aksi Sepatu Anak Nusantara.
Tanpa rencana
kami menginap di pesisir pantai Bande Alit, Jember. Medan yang harus kami
tempuh bukanlah jalanan yang dilapisi aspal, tapi batu besar dan tajam yang
membungkus jalanan sepanjang 18 KM menuju ke sana.
Doc. Pribadi |
Setelah
Sholat Maghrib berjamaah di pesisir pantai, kami melaksanakan evaluasi kegiatan
dan mengobrol hal-hal tentang relawan. Pada ujung pembicaraan, ada seorang
kawan yang bertanya, “Kalian merasa ndak,
semenjak jadi relawan, selalu saja ada rezeki yang kalian terima?” Banyak kawan
yang mengangguk mengiyakan pertanyaan itu.
Aku memang
sering mendapat rezeki tak terduga, tapi aku tidak pernah mengaitkannya dengan
kegiatan relawan. Tapi yang jelas, memang kuakui banyak kemudahan yang aku
dapatkan saat aku memilih untuk terjun dalam kegiatan sosial.
Pernah aku
nekat mengikuti kegiatan relawan, padahal banyak tugasku belum selesai dan
deadlinenya semakin dekat. Pernah juga besoknya UAS, tapi sehari sebelumnya ada
aksi yang harus kuikuti. Menjadi relawan itu merupakan panggilan jiwa. Meski kami
tidak dibayar, tapi mengikuti aksi sosial sudah merupakan kewajiban yang sulit
untuk dinomorduakan. Dan besoknya, soal UAS terasa sangat gampang sekali,
bahkan pernah keluar di soal UTS.
Bahkan,
aku sampai pernah mengerjakan tugas-tugasku di sela melakukan kegiatan sosial. Tugas
yang awalnya sulit, tapi mengalir begitu saja aku kerjakan. Saat pulang, amanah
tertunaikan dan tugas terselesaikan membuat hati pun menjadi nyaman.
Ada suatu
kejadian yang membuatku tertegun begitu lama, sampai sekarang aku juga masih
tidak menduga. Suatu siang saat pulang kuliah, aku membeli rujak buah di dekat
kampus. Sebenarnya saat itu sudah masuk bulan Ramadhan, tapi karena aku sedang halangan
dan tidak berpuasa. Sudah sering aku melewati jalan tukang rujak itu berjualan.
Mungkin sudah ratusan kali aku melewatinya.
Di sebelah
tukang rujak itu, ada seorang ibu yang berjualan kue bongku. Entah kuenya
seperti apa, karena aku belum pernah membelinya. Aku tidak mengenalnya, setiap
lewat pun di antara kami tidak ada yang menyapa, atau hanya sekadar memandang.
Setelah
selesai membeli rujak, aku melewati ibu itu untuk melanjutkan perjalanan
pulang. Tiba-tiba ibu itu memanggilku. Dengan heran, aku kembali lagi ke
tempatnya berjualan.
“Iya,
ada apa, Bu?” Kupikir ibu itu ingin mengingatkan resleting ranselku yang
mungkin terbuka. Tapi tidak, kulihat beliau memasukkan sebungkus roti yang
dibungkus daun pisang itu ke dalam plastik.
“Ini ya
buat berbuka puasa,” katanya.
“Kenapa
dikasihkan ke saya? Tidak usah, Bu.” Aku belum menerima pemberiannya.
“Ndak apa-apa. Ini memang saya berikan
buat takjil.”
“Iya,
Bu. Terima kasih.” Lalu aku mau menerimanya dengan masih banyak pertanyaan yang
memenuhi ruang benakku.
Kalau sengaja
membagikan untuk buka puasa, kenapa siang bolong begini. Dan, dari tadi kulihat
ada banyak orang mondar-mandir di depannya, kenapa yang diberi hanya aku. Bingung
memang, tapi aku percaya tangan ibu itu digerakkan oleh Allah.
Begitulah,
sering sekali aku mendapat bantuan dari orang yang bahkan tak mengenalku. Ada saja
cara Allah membantu. Ada banyak cerita yang ingin aku kisahkan, tapi pasti kau
lelah jika membaca tulisan ini terlalu panjang.
Kami sebagai
relawan, tidak mengharap lebih dari para penerima manfaat. Jika dibolehkan
meminta, kami hanya ingin didoakan sehat agar terus bisa menyalurkan lebih
banyak lagi bantuan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Setiap aku
dan kawan-kawan pulang, doa mereka selalu mengalir tanpa pernah kami minta. “Semoga Mbak dan Mas kebaikannya dibalas oleh
Allah, dilancarkan segala urusannya, dan selalu diberi kesehatan.” Doa-doa
itulah yang sering mampir di telingaku. Diam-diam aku mengaminkannya.
Ada hal
yang tidak pernah aku ceritakan kepada orang lain, hanya yang perlu kalian
ketahui, semenjak aku mengikhlaskan diriku untuk membantu umat, kondisi
kesehatanku semakin membaik. Tidak lagi ada keluh kesah tentang ini itu. Aku
sekarang jauh baik-baik saja dari sebelumnya tanpa menenggak puluhan obat lagi.
Begitulah,
Allah selalu membersamai orang-orang yang senantiasa berjuang untuk
membahagiakan umat. Dan satu pesan lagi, hidup ini bukan tentang diri kita
sendiri, tapi juga tentang manusia lain. Meskipun hanya secuil doa untuk
kebaikan manusia yang lain, lantunkanlah, bisa jadi itu amat membantu. Berbagi juga tidak harus materi, doa tulus dan
senyum yang menyejukkan hati juga
merupakan sedekah.
0 komentar