Tentara Langit

by - 10.25

Relawan adalah tentara langit yang dibayar oleh Allah, bukan manusia. (Brand Manager Rumah Zakat Surabaya)

Aku mendengar quote itu saat mengikuti kegiataan kemah relawan yang dilaksanakan di Malang pada bulan Maret lalu (jika tidak salah ingat). Kalimat itu masih membekas dan terpatri abadi dalam benakku. Menjadi sebuah pengingat jika diri ini mulai ada niat yang melenceng saat menjadi relawan.

Saat melakukan aksi sosial dengan teman-teman Rumah Zakat lain, tidak ada yang kami cari selain lukisan senyum para penerima manfaat. Kami pun tak ingin menghamba dari ucapan terima kasih mereka. Karena sejatinya, ucapan terima kasih patut diucapkan kepada donatur, bukan kepada kami—karena kami hanyalah relawan yang tak memiliki banyak harta, hanya waktu luang untuk menjadi jembatan antara donatur dan penerima manfaat.

Suatu ketika, jika aku tidak salah ingat pada bulan April lalu. Aku dan beberapa teman relawan Jember lain melakukan survei ke suatu tempat yang amat pelosok. Tempat itu jauh dari hingar bingar kota dan tak terjangkau oleh listrik dan sinyal. Kami sedang melakukan survei untuk aksi Sepatu Anak Nusantara.


Tanpa rencana kami menginap di pesisir pantai Bande Alit, Jember. Medan yang harus kami tempuh bukanlah jalanan yang dilapisi aspal, tapi batu besar dan tajam yang membungkus jalanan sepanjang 18 KM menuju ke sana.





Doc. Pribadi
Setelah Sholat Maghrib berjamaah di pesisir pantai, kami melaksanakan evaluasi kegiatan dan mengobrol hal-hal tentang relawan. Pada ujung pembicaraan, ada seorang kawan yang bertanya, “Kalian merasa ndak, semenjak jadi relawan, selalu saja ada rezeki yang kalian terima?” Banyak kawan yang mengangguk mengiyakan pertanyaan itu.

Aku memang sering mendapat rezeki tak terduga, tapi aku tidak pernah mengaitkannya dengan kegiatan relawan. Tapi yang jelas, memang kuakui banyak kemudahan yang aku dapatkan saat aku memilih untuk terjun dalam kegiatan sosial.
Pernah aku nekat mengikuti kegiatan relawan, padahal banyak tugasku belum selesai dan deadlinenya semakin dekat. Pernah juga besoknya UAS, tapi sehari sebelumnya ada aksi yang harus kuikuti. Menjadi relawan itu merupakan panggilan jiwa. Meski kami tidak dibayar, tapi mengikuti aksi sosial sudah merupakan kewajiban yang sulit untuk dinomorduakan. Dan besoknya, soal UAS terasa sangat gampang sekali, bahkan pernah keluar di soal UTS.

Bahkan, aku sampai pernah mengerjakan tugas-tugasku di sela melakukan kegiatan sosial. Tugas yang awalnya sulit, tapi mengalir begitu saja aku kerjakan. Saat pulang, amanah tertunaikan dan tugas terselesaikan membuat hati pun menjadi nyaman.

Ada suatu kejadian yang membuatku tertegun begitu lama, sampai sekarang aku juga masih tidak menduga. Suatu siang saat pulang kuliah, aku membeli rujak buah di dekat kampus. Sebenarnya saat itu sudah masuk bulan Ramadhan, tapi karena aku sedang halangan dan tidak berpuasa. Sudah sering aku melewati jalan tukang rujak itu berjualan. Mungkin sudah ratusan kali aku melewatinya.

Di sebelah tukang rujak itu, ada seorang ibu yang berjualan kue bongku. Entah kuenya seperti apa, karena aku belum pernah membelinya. Aku tidak mengenalnya, setiap lewat pun di antara kami tidak ada yang menyapa, atau hanya sekadar memandang.

Setelah selesai membeli rujak, aku melewati ibu itu untuk melanjutkan perjalanan pulang. Tiba-tiba ibu itu memanggilku. Dengan heran, aku kembali lagi ke tempatnya berjualan.

“Iya, ada apa, Bu?” Kupikir ibu itu ingin mengingatkan resleting ranselku yang mungkin terbuka. Tapi tidak, kulihat beliau memasukkan sebungkus roti yang dibungkus daun pisang itu ke dalam plastik.

“Ini ya buat berbuka puasa,” katanya.

“Kenapa dikasihkan ke saya? Tidak usah, Bu.” Aku belum menerima pemberiannya.

Ndak apa-apa. Ini memang saya berikan buat takjil.”

“Iya, Bu. Terima kasih.” Lalu aku mau menerimanya dengan masih banyak pertanyaan yang memenuhi ruang benakku.

Kalau sengaja membagikan untuk buka puasa, kenapa siang bolong begini. Dan, dari tadi kulihat ada banyak orang mondar-mandir di depannya, kenapa yang diberi hanya aku. Bingung memang, tapi aku percaya tangan ibu itu digerakkan oleh Allah. 

Begitulah, sering sekali aku mendapat bantuan dari orang yang bahkan tak mengenalku. Ada saja cara Allah membantu. Ada banyak cerita yang ingin aku kisahkan, tapi pasti kau lelah jika membaca tulisan ini terlalu panjang.

Kami sebagai relawan, tidak mengharap lebih dari para penerima manfaat. Jika dibolehkan meminta, kami hanya ingin didoakan sehat agar terus bisa menyalurkan lebih banyak lagi bantuan kepada mereka yang berhak menerimanya.

Setiap aku dan kawan-kawan pulang, doa mereka selalu mengalir tanpa pernah kami minta. “Semoga Mbak dan Mas kebaikannya dibalas oleh Allah, dilancarkan segala urusannya, dan selalu diberi kesehatan.” Doa-doa itulah yang sering mampir di telingaku. Diam-diam aku mengaminkannya.

Ada hal yang tidak pernah aku ceritakan kepada orang lain, hanya yang perlu kalian ketahui, semenjak aku mengikhlaskan diriku untuk membantu umat, kondisi kesehatanku semakin membaik. Tidak lagi ada keluh kesah tentang ini itu. Aku sekarang jauh baik-baik saja dari sebelumnya tanpa menenggak puluhan obat lagi.


Begitulah, Allah selalu membersamai orang-orang yang senantiasa berjuang untuk membahagiakan umat. Dan satu pesan lagi, hidup ini bukan tentang diri kita sendiri, tapi juga tentang manusia lain. Meskipun hanya secuil doa untuk kebaikan manusia yang lain, lantunkanlah, bisa jadi itu amat membantu.  Berbagi juga tidak harus materi, doa tulus dan senyum  yang menyejukkan hati juga merupakan sedekah.

You May Also Like

0 komentar