Para Jodohku di Rumah Zakat
--Jika kita berlelah-lelah di jalan Allah,
InsyaAllah surga adalah tempat istirahat terbaik yang disiapkan oleh-Nya--
Ketika
ada kata “para”, maka kata yang mengikutinya berarti jamak. Terdengar aneh
memang, jodoh setiap orang diciptakan tunggal, tapi aku menggunakan kata jamak.
Aku menemukan arti baru tentang jodoh. Jodoh tak lagi hanya bisa diartikan secara
sempit sebagai pasangan hidup, tapi juga semua orang yang bertemu dengan kita
saat memiliki hajat.
Arti ini
kudapat dari Mas Pandu—salah satu Relawan Nusantara Malang—saat aku bersama
teman relawan Malang lain melakukan aksi Syiar Quran. Dalam setiap sambutan, Mas
Pandu bilang, “Alhamdulilah, hari ini
kita berjodoh untuk membagikan Al-Quran dari donatur.”
Dari situlah
aku menyadari, meski aku belum mendapatkan jodoh dalam arti pasangan, aku sudah
bertemu dengan para jodohku di Rumah Zakat.
Aksi Syiar Quran mungkin hanya terlihat biasa
bagi orang lain. Hanya membagikan beberapa Al-Quran dan Iqro’ di beberapa
tempat lalu selesai. Iya aksinya memang se-simple
itu.
Tahukah?
Dibalik sebuah pertemuan pasti Allah menyelipkan sebuah alasan. Mungkin bagi
kalian yang tinggal di kota, diberi Al-Quran itu hal biasa. Kalian pasti sudah
mempunyai Al-Quran yang tertata rapi di rak atau kalian malah lebih canggih—memiliki
Al-Quran yang terinstal di smartphone.
Bisa jadi,
kedatanganku dan kawan lain ke sana terlihat biasa saja. Setelah aku bertanya
kepada beberapa orang yang menjadi penerima manfaat, respon mereka beragam.
Ada Musholla
Al-Munawaroh yang ada di Kabupaten
Malang. Tempatnya sedikit terpencil, hanya sinyal provider tertentu yang bisa menembus tempat itu. Saat aku
bertanya, bagaimana perasaannya setelah
mendapat Al-Quran dari Rumah Zakat?
Ada seorang
wanita separuh baya menjawab, tentu
senang, Mbak. Bisa dilihat sendiri keadaan Al-Quran di Musholla ini sudah
usang. Sudah digerogoti rayap. Apalagi Al-Quran yang diberi Rumah Zakat besar,
bagus, dan ada terjemahannya. Sehingga memudahkan para orang-orang tua untuk
tetap membaca dan memahami maknanya.
Ada lagi
seorang gadis santri di sebuah TPQ menjawab, Senang,
Kak. Karena dulu mau beli Al-Quran tapi nggak jadi-jadi. Begitulah jawaban
polosnya.
Sekadar
info, saat kami membagikan Al-Quran pada gadis itu atas nama Musholla Miftachul
Jannah yang bertempat di Desa Ampeldento. Dan mirisnya, Musholla itu hanya
memiliki 2 Al-Quran. Sudah setahun seseorang mengajukan Musholla tersebut untuk
menjadi penerima manfaat, tapi baru tahun ini permintaannya bisa kami
realisasikan karena banyaknya antrian.
Dari semua
jawaban para penerima manfaat, aku melihat ada senyum sumringah yang menggelayuti
wajahnya. Ada bahagia yang menyeruak ke relung hatinya. Mungkin kita
menganggap, diberi Al-Quran itu hal biasa. Tapi ternyata, di pijakan bumi sana,
banyak orang yang melantunkan doa agar diberi kemudahan untuk bisa tilawah, apalagi
ini bulan suci Ramadhan.
Sebelum
ke Malang aku juga sempat mengikuti aksi Syiar Quran Braile di Jember. Nama penerima
manfaat kami adalah Ibu Khalimah. Sudah 5 tahun beliau tidak bisa membaca
Al-Quran karena penglihatannya terganggu. Beliau hanya bisa mendengarkan
tilawah dari keluarga dan speaker Musholla dekat rumahnya. Doa Ibu Khalimah
selalu mengangkasa ke langit agar diberi jalan untuk bisa membaca Al-Quran lagi.
Aku merasa
tertampar saat datang bertemu dengan para jodohku di Syiar Quran. Dari mereka
aku belajar, betapa aku menjadi orang yang tidak mensyukuri nikmat yang Allah
beri. Aku mempunyai Al-Quran yang masih dalam kondisi baik, bahkan aku juga
mempunyai aplikasi Al-Quran di smartphone
yang bisa aku baca saat bepergian. Tapi jarang sekali aku mempunyai keinginan
untuk membaca. Aku lebih banyak malasnya. Padahal di luar sana ada orang yang
tertatih-tatih untuk bisa tilawah. Banyak orang mendambakan mempunyai Al-Quran.
Relawan
Nusantara Jember juga sempat melaksanakan kegiatan Ekspedisi Ramadhan di Desa
binaan Panti, Jember. Di acara tersebut banyak sekali rangkaian acara, salah
satunya adalah membagikan Super Qurban—daging kornet berkemasan kaleng produk Rumah Zakat.
Bagiku,
daging itu bernilai sedikit karena kalengnya pun kecil. Setiap rumah hanya
mendapat bagian satu kaleng. Saat aku mengulurkan kaleng, ada beberapa Ibu yang
bertanya, “Ini bayar, Mbak?” Aku menjawab, “Ndak,
Bu. Ini gratis.” Lalu dengan sumringah beliau menjawab, “Alhamdulillah, terima
kasih.”
Aku merasa
apa yang aku beri tidaklah istimewa. Hanya daging berkemasan kecil. Tapi setiap
pintu terbuka dan pemilik rumah menerima uluran tanganku, mereka terlihat
bahagia tak terkira. Batinku, mungkin mereka jarang memakan daging. Mungkin saja
ibu itu kemarin malam berdoa ingin membeli daging untuk anak-anaknya tapi tidak
mempunyai uang belanja yang cukup.
Ohya,
anak-anak di desa binaan itu juga menjadi murid bimbingan belajar Relawan
Nusantara Jember sejak sebelum Ramadhan. Ada anak yang baru naik kelas 1 SD.
Padahal aku hanya mengajarinya penjumlahan dan pengurangan. Aku juga
menyuruhnya untuk belajar menulis pengalamannya berlibur di pantai. Aku tidak
memberi apa-apa kepadanya.
Aku hanya
memposisikan diriku menjadi teman belajarnya. Dia begitu riang menceritakan
hari-harinya, seperti sahur hanya dengan susu dan berjalan-jalan pagi setelah
Sholat Shubuh. Aku belajar menjadi pendengar yang baik untuknya. Pikirku,
mungkin anak ini membutuhkan teman cerita dan orang tuanya sedang sibuk
bekerja. Anak-anak di sana selalu menyambut kehadiran kawan-kawan relawan
dengan sukacita.
Saat kami
menginap di rumah salah satu warga, Alhamdulillah, kami diperlakukan seperti
anak sendiri. Diberikan menu berbuka dan sahur yang sangat banyak dan nikmat,
kami juga diberikan camilan, bahkan tempat tidur yang nyaman. Para warga
berulang kali mengucap terima kasih kepada kami.
Sempat aku
berbincang dengan satu teman relawan lain, dia bilang, “Aku selama ini merasa
tidak memberi apa-apa kepada mereka. Daging yang kita bagikan pun juga bukan
dari kita. Tapi mereka memperlakukan kita begitu istimewa.”
Aku sependapat
dengannya. Rasanya aku tidak pantas menerima ucapan terima kasih, karena memang
aku ini hanya mempunyai waktu untuk bertemu dengan mereka.
Ada juga
sepasang suami istri yang menjadi target Kejutan Ramadhan di Jember. Kami hanya
memberi bantal, guling, dan kasur. Tapi, senyumnya masyaAllah, terlihat
bahagiiaaaaaa sekali. Padahal bagiku bantal dan kasur itu barang yang biasa.
Aku belajar
arti bahagia dari mereka. Bahagia versi mereka itu bukan dilihat dari
kuantitasnya, mereka bahagia karena didatangi, ditemani, dan dihargai. Masalah apa
yang kuberi, itu murni dari para donatur.
Aku menganggap
ini pertemuan biasa. Tapi mungkin saja, pertemuan mereka denganku adalah
jawaban dari doa panjang yang telah antri di langit. Mereka sama dengan para
penanti jodoh. Berdoa untuk bertemu dengan seseorang yang mewujudkan
keinginan-keinginannya.
Setiap aku
mengikuti aksi sosial, itu semuanya Allah lah yang menggerakkan. Aku ini hanya
manusia yang sering diliputi rasa malas dan penuh kekhilafan. ‘Tangan’ Allah
lah yang membuat semua teman relawan untuk bergerak melaksanakan aksi.
You must know, gaess.
Relawan itu hanya orang-orang yang dipilih Allah untuk menjadi perantara pengabul
doa para penerima manfaat. Jadi, jangan mengharap apa-apa selain ridho-Nya. Melihat sukacita mereka itu sudah merupakan bayaran terbaik yang kami
terima.
Catatan: Bu Khalimah belum menemukan orang yang bisa mengajari membaca Al-Quran Braile. Jika para pembaca bisa membantu, mungkin ada yang punya kenalan yang bisa mengajari dan berdomisili di Jember, hubungi kontak saya. Terima kasih :)
Catatan: Bu Khalimah belum menemukan orang yang bisa mengajari membaca Al-Quran Braile. Jika para pembaca bisa membantu, mungkin ada yang punya kenalan yang bisa mengajari dan berdomisili di Jember, hubungi kontak saya. Terima kasih :)
0 komentar