Doa Yang Terlupa

by - 00.56

                                                                                                            
Lirih kudengar ada suara yang menyenandungkan lagu dari dalam. Kupandangi lekat-lekat pintu kayu yang ada di hadapanku. Kuangkat tangan menyentuh daun pintu. Aku ragu-ragu.

Belum sempat tanganku mengetuk, pintu coklat itu dibuka oleh pemilik kamar. Ada raut kekagetannya yang tertangkap jelas. Aku segera melukis senyum menyambutnya.

“Alis!” Dia menyebut namaku masih dengan ekspresi keterkejutan.

“Aku boleh tidur di kamarmu malam ini?” Segera aku membuka suara agar dia tidak berpikir macam-macam tentang keberadaanku yang diam-diam di depan kamarnya.

“Kau takut tidur sendirian di kamar?” tanyanya dengan sedikit menahan tawa.

“Malam ini terasa lebih horor dari biasanya. Kau tahu sendiri kan liburan ini hanya ada kita berdua di kos sebesar ini?”

Kali ini dia tertawa lepas sambil membukakan pintu lebar-lebar. “Ayo masuk!”

Aku melihat sekeliling kamarnya yang selama ini belum pernah kumasuki. Tercium wangi lemon dari pengharum ruangan yang menggantung di dekat meja.


Pelan aku berjalan sambil mengamati dinding kamarnya yang bercat merah jambu. Ada tempelan bunga plastik di atas tempat tidur. Aku duduk di pinggiran tempat tidurnya. Dia duduk di kursi yang membelakangiku sambil memainkan laptopnya. Entah, apa yang sedang dia kerjakan.

“Aku bisa pinjam mukenamu? Aku belum sholat.” Dia menoleh ke arahku dengan membulatkan mata hitamnya, lalu tersenyum lebar.

“Aku tidak punya mukena,” jawabnya ringan. Sontak aku mengerutkan kening.

“Agamaku Hindu.” Aku menelan ludah mendengar ucapannya.

Selama ini dia memang tidak pernah menggunakan jilbab seperti temanku yang lain. Meskipun begitu, kukira dia muslim. Karena banyak temanku muslim tidak menggunakan jilbab.

Aku memang tidak terlalu dekat dengannya, bertemu saja jarang. Karena kesibukan masing-masing. Komunikasi kita hanya sekadar menyapa di pertemuan tak sengaja.
“Oh, maaf. Aku baru tahu.” Aku tersenyum tipis menahan malu. Dia tersenyum lebar memaklumi.

“Lalu bagaimana? Aku bisa mengantar ke atas untuk mengambil mukenamu.”

“Tidak perlu. Tanpa mukena sebenarnya juga bisa. Jilbabku sudah panjang dan pakaianku juga longgar, sudah bisa digunakan untuk sholat. Hanya saja, aku memang terbiasa memakai mukena.”

Setelah aku sholat, kuamati beberapa buku yang terjejer rapi di rak kayu pojok kamar. Sedangkan dia masih menikmati kegiatannya di depan laptop. Sesekali dia mengajakku berbicara untuk mengusir sunyi di antara kita.

 “Nanti malam aku ada ibadah, apa kamu tidak terganggu jika tidur di sini?”

“Ibadahmu tidak menggunakan suara keras, kan?” Aku menoleh ke arahnya.

“Tidak.”

“Tak apa,” jawabku.

“Ibadah jam berapa?”

“Tengah malam.”

Aku sibuk membuka lembaran buku yang kuambil. Tanpa kuminta, dia menceritakan tentang agamanya.

“Hari Kamis malam nanti adalah hari raya agamaku. Selama tiga puluh enam jam mulai nanti malam aku harus berpuasa.”

“Hari raya apa? Setahuku Hindu mempunyai banyak hari raya.”

“Hari raya Saraswati atau hari pendidikan.”

“Oh.” Aku menggumam mendengar penjelasannya.

Kulihat ada kitab sucinya di rak paling atas. Hanya kubuka sekilas, tanpa membaca detailnya. Karena aku tidak paham dengan isi kitab tersebut, kuletakkan lagi di rak.

***
Serasa ada awan yang menutupi pandanganku. Kuusap pelan kedua mata ini. Terlihat dia masih tidur di sampingku dengan nyenyak. Mataku mencari-cari jam dinding. Terlihat jarum pendeknya ada di angka dua belas. Jarum panjang menunjukkan menit ke sepuluh.

“Arum!” Aku memegang bahunya pelan.

“Hmhm.” Kulihat matanya masih menutup.

“Kau tidak ibadah?”

Dia segera membuka mata. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding yang menggantung di dekat jendela. Dengan setengah malas, dia bangun. Tanpa ingin tahu apa yang dia lakukan selanjutnya, dan bagaimana ritual ibadahnya, aku melanjutkan tidur lagi.

Hanya setelah itu, aku sempat terbangun dengan mata menyipit. Kulihat dia ibadah dengan dupa yang ada di tangannya. Aku menghadapkan tubuh ke tembok lalu memejamkan mata yang sudah memberat ini.

 “Alis!” Kurasakan ada yang menggoyang-goyangkan bahuku.

“Kenapa?” suaraku terdengar berat.

“Ponselmu dari tadi bunyi. Kulihat alarm sholat malam.” Aku terdiam sesaat mendengarnya. Ada hal yang menyusup dalam benakku. Setelah kesadaranku telah penuh, aku bangun dari pembaringan. Menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

Ada perasaan aneh yang merayapi hati ini. Aku berandai-andai, jika saja Arum beragama Islam. Dia membangunkanku sholat, lalu kita berdampingan menyembah Tuhan yang sama. Betapa indahnya bisa beribadah dengan saudara semuslim.

Aku menjadi teringat dengan Rully teman SMP-ku dulu. Dia beragama Kristen. Dari awal masuk sekolah, dia sangat akrab denganku. Setiap Minggu, aku menungguinya di depan gereja untuk menjemput. Karena hampir setiap akhir pekan kita menghabiskan waktu bersama setelah dia selesai ibadah.

Bahkan, dia juga tidak segan menungguiku di depan Masjid kompleks perumahannya saat ibadah Sholat Dhuhur. Yah begitulah, tolerasi memang indah, tapi akan lebih indah jika bisa beribadah dengan teman sesama muslim.

Mengingat hal itu membuatku tersenyum sesaat, meski kemudian pandanganku kabur oleh tirai tipis yang jatuh sebagai butiran air saat kukatupkan pelupuk mataku.
Dalam sujud di sepertiga malam ini, teringat bagaimana aku merasa asing dengan saudara seimanku sendiri. Bagaimana aku tidak menemui keislaman dalam diri mereka.

Hatiku seperti tertusuk belati saat aku ditertawai, dipandang aneh, bahkan dikatai dengan tidak sepatutnya karena jilbab lebar yang kukenakan. Aku memang bukan orang yang suci dan terlepas dari dosa. Aku hanya manusia yang kemarin sore mengenal Islam yang sebenarnya.

Berpenampilan berbeda dari biasanya memang akan dikomentari oleh banyak orang. Aku tahu itu. Tapi sungguh miris, jika hal wajar yang dilakukan oleh seorang muslim malah dianggap miring oleh orang muslim itu sendiri.

Jika ada orang yang berbeda keyakinan denganku tidak bisa menerima apa yang kuyakini, itu wajar. Tapi sungguh sakit, jika orang yang mengikrarkan dirinya berkeyakinan sama denganku malah menolak keras kewajiban yang mencerminkan keyakinan yang sama-sama kita yakini.

Sungguh, bukan maksudku sok suci. Aku hanya ingin kita bisa berjalan beriringan menuju jalanNya. Saling merangkul, menggandeng, bahkan menahan tangan saat ada yang berbelok ke jalan yang salah.

Apa itu hanya akan menjadi angan yang terbang begitu saja karena terhempas angin tanpa pernah terwujudkan. Ada isak tangis yang kutahan, karena tidak ingin Arum mendengarnya lalu bertanya terlalu jauh apa yang sedang terjadi.

Di tengah aku merapalkan doa, kuingat sebuah nama yang begitu kurindui. Sosok orang yang nasihatnya selalu bergaung dalam jiwaku. Dia yang pernah mengajakku untuk selalu dekat denganNya, tapi pernah kuabaikan begitu saja.

***
“Daning!”

Kulihat teman lamaku ini berbeda sekali dengan dulu. Setelah mengingatnya suatu malam itu, aku berusaha mencari kontaknya dan mengajak bertemu.

Setetes resah menyusup dalam benakku. Kulihat senyumnya yang dibingkai keyakinan terlihat jelas.

“Kau memang benar Daning, kan?”

“Memangnya sudah berapa lama kita tidak bertemu, sampai kau memandangiku seperti itu?”

“Kau beda dari yang dulu,” ucapku dengan ragu. Aku memandanginya dari ujung kaki sampai kepala.

Kulit betisnya yang putih tak tertutupi sehelai benang pun. Rambutnya yang kecoklatan dibiarkan tergerai. Aku merasa sedang salah orang. Tapi tidak, di hadapanku ini benar-benar Daning. Gadis yang pernah kutemui dengan jilbab lebarnya.

“Kau sangat anggun dengan gamis dan jilbab ungu itu,” katanya.

Aku tersenyum tipis dengan terpaksa. Kali ini pujiannya terasa sangat hambar.

Setelah membicarakan banyak hal tentang diri kita, aku baru berani melontarkan pertanyaan kepadanya.

“Jika aku boleh tahu, apa yang membuatmu melepas jilbab?”

Dia tersenyum dengan tanpa ada penyesalan. Kita terdiam cukup lama sibuk mengaduk-aduk segelas minuman masing-masing. Sesekali kulihat dia mengedarkan pandangan ke sekeliling tanpa pernah kudapati menatapku.

Cukup lama, aku menunggunya menjawab. Aku tidak memaksa, hanya menunggunya bersedia bercerita kepadaku.

“Alis, dengarkan aku!” Dia mulai angkat suara. Duduknya menjadi tegak dan menatap serius ke arahku. Aku balik menatap matanya.

“Bisa jadi, aku seperti ini karena kau tidak pernah menyelipkan namaku dalam doamu.”

Aku tersentak mendengar ucapannya. Mataku membulat menghujaninya dengan tatapan tajam.

“Bukankah hidayah itu dari Allah? Kau tidak bisa menyalahkan orang lain, itu pilihanmu.” Kuusahakan suaraku tidak terlalu keras, meski darahku telah mendidih.

“Tenang, Alis! Aku tekankan lagi, di awal sudah kukatakan tadi ‘bisa jadi’.” Dia berbicara dengan nada yang sangat tenang.

Dia mencuri waktu untuk mengambil napas, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Kadang, orang lain terlalu sibuk berdoa untuk dirinya sendiri tanpa ingat untuk mendoakan saudaranya.”

“Apakah kau pernah menyebut namaku dalam doamu?” tanyaku lirih.

“Aku pernah dengar, saat kita mendoakan orang tanpa diketahui orang tersebut, maka doa itu akan dikabulkan oleh Allah.”

Aku membuang napas pelan.


*Terinspirasi dari obrolan tadi siang

You May Also Like

9 komentar