Obrolan Di Malioboro

by - 01.18

Doc. Pribadi

Aku berjalan tergesa-gesa keluar dari sebuah mushola kecil di dekat Jalan Malioboro. Berjalan dengan serius menatap layar ponsel yang terang menyala.

“Mbak di mana?”

Kukirimkan sebuah pesan whatsapp pada seorang teman yang kukenal kurang lebih tiga tahun lalu melalui facebook. Wanita asli Jogja yang belum pernah kutemui ini, sering berkomunikasi denganku melalui media sosial dan koresponden. Usia kami terpaut kurang lebih lima tahun.

“Aku di depan plang tulisan Jalan Malioboro.”

Kubaca balasan pesannya. Aku melihat sekitar. Tak kutemui seseorang yang mirip dengan foto yang dikirimkannya tadi siang.

Dia selama ini tidak pernah mengunggah fotonya di media sosial. Sehingga aku sulit untuk mengenali wajahnya. Berkali-kali aku melihat foto yang dikirimkannya.


“Aku juga di dekat tulisan itu,” balasku.

“Aku memakai baju merah,” jawabnya.

Tanpa membalas pesannya, aku berjalan melihat setiap orang yang berlalu-lalang di sekitarku. Setelah cukup lama mencari, aku melihat ada seorang wanita memakai baju merah dengan jilbab corak merah putih mirip dengan foto yang dari tadi kupandangi. Terlihat dari cara berjalannya, ada yang berbeda pada kakinya.

“Mbak?” tanyaku sambil menyebutkan sebuah nama setelah berhenti tepat di hadapannya.

“Iya. Anik?” tanyanya.

“Iya.” Aku tersenyum lalu mengulurkan tangan bersalaman dengannya. Kulihat ada seorang laki-laki bertubuh tinggi yang masih sangat muda di sampingnya. Aku tersenyum dan menangkupkan tangan ke laki-laki itu. Dan dia membalasnya sambil tersenyum tipis.

Laki-laki berkulit bersih itu berbicara pelan kepada temanku, lalu berjalan menjauh pergi meninggalkan kami berdua. Baru saja kami berbicara sepatah dua patah kata, hujan turun tiba-tiba.

Aku menggandeng tangannya sambil berjalan cepat. Kami duduk di sebuah kursi kayu beratapkan seng putih di belakang halte Trans Jogja.

“Bagaimana kalau kita makan di angkringan saja?” Dia menawarkan.

“Boleh,” jawabku sambil membaca daftar menu yang tertulis jelas di depan angkringan belakang tempat kami duduk.

Mataku mencari menu yang harus kucicipi di kota ini.

“Sepertinya nasi gudeg enak,” ucapku tiba-tiba.

“Kamu belum pernah makan gudeg?”

Aku menoleh ke arahnya. “Sudah, waktu di Kediri. Tapi belum lengkap kalau ke Jogja tidak makan gudeg,” kataku.

Sambil menunggu pesanan datang, aku dan dia mengobrolkan banyak hal, entah tentang menulis, toko buku di Jogja, bahkan tentang masalah pribadi kami. Meskipun selama ini kami hanya mengenal melalui media sosial dan berada di jarak yang jauh tak tersentuh, tapi kami sudah saling percaya untuk berbagi beberapa hal pribadi, meskipun tidak keseluruhan.

“Tadi adiknya Mbak?” tanyaku sambil mengaduk-aduk teh hangat pesanan kami yang baru datang.

“Iya,” jawabnya pelan.

“Kalau pergi kemana-mana Mbak selalu diantar?”

“Iya, kakiku sakit tidak bisa naik kendaraan.”

“Oh.”

Aku tidak menanyakan terlalu jauh apa yang terjadi dengan kakinya, hanya yang kutahu ukuran kakinya terlihat tidak sama.

Penasaranku dari kemarin sudah terjawab. Pikirku, kenapa dia tidak bisa keluar sendirian? Bertemu dengannya memang sangatlah susah. Dia harus diantar oleh keluarganya ke mana pun itu. Kemarin rencana kami bertemu gagal, karena keluarganya sedang ada acara dan tidak bisa mengantar.

Bahkan, dia sempat ingin naik kendaraan umum menemuiku, tapi dilarang oleh ibunya. Karena tidak terbiasa pergi jauh sendiri,  ibunya sangat khawatir.

Hampir setengah jam kami bercerita tentang hal-hal terbaru yang belum kami ceritakan. Aku sedikit meliriknya. Diriku sibuk mengumpulkan keberanian untuk bertanya sesuatu.

“Mbak sudah diizinkan berjilbab oleh ibu?” tanyaku dengan susah payah.

“Belum.” Ada raut sendu yang terlukis jelas.

“Lantas, kenapa saat ini bisa berjilbab?”

“Tadi aku yang memaksa beliau. Aku bilang, setiap bertemu temanku, aku ingin berjilbab. Lalu beliau mengizinkan, dan itu pun baju panjang yang kupakai ini lengannya harus dilipat ke atas,” jelasnya sambil membuka jaket denim yang dipakainya.

Dia menunjukkan lengan bajunya yang terlipat lalu dibuka lipatan itu. Bajunya dibiarkan terjulur panjang.

“Kenapa ibu melarang Mbak berjilbab?”

Sebenarnya dulu dia sudah pernah menceritakan alasannya kepadaku, dan aku masih ingat. Tapi kali ini, aku menanyakannya lagi agar jawabannya terdengar lebih jelas.

Dulu dia pernah bercerita, ibunya beranggapan bahwa orang berjilbab itu kuno. Dan aku belum terlalu mengerti apa maksud dari ungkapan itu.

“Ibuku itu sangat modis. Beliau beranggapan bahwa orang berjilbab itu cupu.” 

Aku terdiam cukup lama. Pura-pura mengaduk-aduk teh hangat yang gulanya sudah benar-benar larut. Meneguknya sekali dua kali untuk mencari-cari alasan kenapa aku diam.

Setelah itu, aku menyibukkan diri menyendokkan nasi gudeg yang dari tadi kuanggurkan karena asyik berbicara dengannya. Sebenarnya, aku bukan sibuk menikmati hidangan malam ini. Aku sibuk menata perasaan.

Ada perasaan berkecamuk pada diriku. Aku membisu karena terharu. Terpaku di tempat, karena terbius mendengar cerita-ceritanya. Sesekali memejamkan mata, pura-pura menikmati embusan angin yang membelai manja. Padahal aku sedang tertatih menahan air mata yang ingin terjatuh karena perasaanku mengharu biru.

Sempat terlintas di pikiranku, Allah memberiku Islam dan iman terlalu mudah. Sampai aku lupa caranya bersyukur. Semenjak mengenakan jilbab dari sekolah dasar sampai detik ini, aku belum pernah mengucapkan syukur.

Aku belum pernah berterima kasih kepada Allah karena dimudahkan untuk berjilbab dan beribadah. Bahkan dilahirkan dari keluarga Islam dan mereka mengenalkan serta mengajarkan segala hal tentang Islam sejak aku masih usia dini.

Aku memang sangat jahat. Menganggap berjilbab itu seperti makan tempe. Hal yang sangat biasa dan lumrah. Padahal bagi mereka yang sulit mengenakannya adalah hal yang istimewa.

Kukira, larangan berjilbab itu hanya ada di sebuah perusahaan atau lembaga. Diskriminasi berjilbab hanya ada di negara nun jauh di benua seberang sana. Ternyata di sebuah keluarga Islam di negara ini juga ada. Dan aku mendengarnya sendiri.

Sepiring nasi gudeg telah tandas. Setelah berhasil menata perasaan dan kurasakan rasa sesak yang dari tadi menelusup perlahan mulai hilang, aku kembali membuka pembicaraan.

“Selalu doakan ibu, Mbak. Semoga Allah memberi hidayah kepada beliau.”

“Aamiin. Sebenarnya aku sudah sangat ingin mengenakan jilbab,” katanya. Aku menatapnya. Terlihat kedua bola matanya yang tertutupi kaca mata berlensa tebal berbingkai hitam menyiratkan sebuah keyakinan.

“Sudah pukul delapan. Ibu menyuruhku segera pulang,” ucapnya sambil melihati layar ponsel. Mungkin sedang membaca pesan dari ibunya.

“Maaf, aku hanya bisa menemuimu dalam waktu yang sangat singkat.”

“Tak apa, Mbak. Aku sudah sangat senang bertemu dengan Mbak.”

“Aku hanya bawa ini untukmu.” Dia mengeluarkan sebuah buku yang masih bersegel dari tasnya.

“Terima kasih. Seharusnya aku yang membawakan sesuatu.” Aku menerima buku yang bertuliskan namanya.

Allah memang sangat romantis. Setahun lalu dia berencana mengirimkan buku itu ke alamatku, tapi proses penerbitannya belum juga selesai. Dia sering bercerita kepadaku karena kesal dengan penerbitannya yang sangat lama. Dan ternyata di balik itu semua, Allah ingin memberikan buku itu kepadaku melalui sebuah pertemuan kami, bukan melalui paketan seperti buku-buku yang sering dikirimkannya dulu.

“Bagaimana kalau kita berfoto dulu di tulisan Malioboro sana?” tanyanya sambil menunjuk tempat yang sedang ramai dikerumuni banyak orang.

“Ayo!” Aku berdiri dari tempatku.

Setelah membayar pesanan, aku berjalan pelan menyamakan langkahnya. Butuh waktu lama untuk bisa berfoto di tempat yang kami inginkan. Banyak orang yang antre di sana.

Setelah selesai mengambil foto, dia dan adiknya berpamitan pulang.

“Semoga ada kesempatan untuk bertemu lagi, Mbak,” ucapku sambil menyalaminya.

“Aamiin.” Dia tersenyum ke arahku.

“Kamu enak ya bisa kemana-mana. Sedangkan, aku cuma jadi anak rumahan. Jujur, sebenarnya aku iri denganmu,” katanya yang membuatku kaget.

“Anak rumahan yang bisa menerbitkan buku seperti Mbak itu lebih keren. Daripada aku sering keluyuran tapi tulisan belum juga kelar.”

Dia hanya tersenyum menanggapi ucapanku.

“Pasti Mbak nanti punya kesempatan pergi kemana-mana. Aku juga anak rumahan yang hanya kebetulan mempunyai kesempatan ke sini.”

Dia tersenyum lalu pergi bersama adiknya. Kulihat dia semakin menjauh sampai punggungnya tak terlihat lagi.

Semoga Tuhan selalu menyertai langkahmu, Mbak! Dan terima kasih untuk obrolan yang tanpa kau sadari berhasil mengaduk-aduk perasaanku.


*Suatu malam saat hujan turun di luar, tapi basahnya ada di pipi

You May Also Like

5 komentar

  1. Masya Allah....jleb. Nampar banget, Deek!

    Ternyata terlalu banyak hal yg kita gak benar2 bersyukur...Allahu.

    Makasih sudah nulis reminder ini, Dek^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama. Ini self reminder juga buatku, Mbak :)

      Hapus
  2. Anik Salam ya untuk mbak yg nulis buku itu. Pernah inbox an ...lupa tapi namanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak.
      Oalah Mbak Wid kenal juga sama dia.

      Hapus
  3. Terharu aku membacanya. Sekaligus tersentil pun berasa #selfreminder.

    BalasHapus