[Fiksi Mini] Senja yang Terbuang

by - 20.48

"Ada tempat yang adem di kota panas ini." Satu pesan whatsapp darinya mendarat di ponselku. 

"Dimana?" Aku segera membalasnya. 

"Coba tebak dimana!" 

"Hmmm, entah."

"Pelabuhan."

"Oh ya? Aku belum pernah ke sana."

"Minggu depan kamu kuantar ke sana," janjinya. 

Untuk kesekian kali, dia menepati janjinya. Dan sore itu, di pelabuhan yang dia janjikan, aku dihadiahi senja. Meski pada awalnya senja bukanlah hal yang dia tawarkan untuk bisa kulihat. 

Orang-orang berebut memotret senja, aku duduk di sebelahnya sambil mengamati orang-orang dengan berbagai ekspresinya.

"Kamu nggak mau foto senja?"

"Cara orang menikmati senja itu berbagai macam, ada yang difoto, dijadikan puisi, atau hanya dilihat seperti aku ini."

"Foto aja gih, mumpung di sini. Bagus. Apalagi ada siluet banyak kapal sandar di bawah."

Aku menurut. Beberapa kali mencuri lekuk indahnya sebelum senja kembali ke peraduannya. 

***
"Foto senja di pelabuhan kemarin hilang." Aku mengirimkan pesan kepadanya. Panik. Lucu ya, merasa kehilangan pada apa yang awalnya tidak ingin kusimpan. Harusnya aku merasa biasa saja. 

"Bagaimana bisa?"

"Entah." 

"Kapan-kapan kuantar lagi ke sana." 

"Boleh."

Mungkin ini pertanda alam agar aku kembali lagi ke sana bersama dia. Menikmati langit kebiru-biruan dengan semburat kemerahan. Matahari hampir terbenam dengan kilau keemasan, terlihat seperti akan tenggelam ke permukaan laut. 

Tapi nyatanya, bukan hanya foto senja yang hilang. Seminggu kemudian dia telah lenyap seperti tertelan bumi. Tanpa kabar. Tidak ada lagi sapa atau tanya. Entah, dia kemana. Hilang tanpa ada jejak atau melambaikan tangan. Tak sempat bertanya kepadaku, apakah sudah siap tanpanya. 

Prasangkaku dulu salah. Foto senja yang hilang atau tak sengaja kubuang itu, sepertinya menjadi pertanda bahwa hal tentang dia tak perlu disimpan, cukup diingat menjadi bagian dalam hidupku. Dia memilih senja untuk menjadi akhir pertemuan kita. Matahari meninggalkan rupa-rupa manusia yang lelah bergelut dengan nasib seharian. Seperti halnya dia, meninggalkan aku yang masih berkelahi dengan diri sendiri tentang perasaan ini. 

Setiap kedatangan memberikan kita aba-aba untuk siap kehilangan. Meski kadang, petunjuk hidup yang ambigu membuat aku tak bisa membedakan mana tanda berhenti atau terus berjalan. Aku tak bisa sekadar menerka-nerka, mana bagian penutup dari kisah ini. Sampai akhirnya, dia pergi dan aku belum sempat berkemas-kemas. 

You May Also Like

0 komentar