Media Sosial dan Tempat Pulang

by - 21.13

Pertama kali kenal medsos seingatku friendster pas kelas 7 SMP. Sering dulu nyisihin uang jajan buat mampir ke warnet sama teman yang lain. Atau ngabisin kuota modem temen untuk video chat bareng pakai Omegle. Dari Omegle jadi kenal sama orang Jerman, India, Australia, dan lainnya. Tapi Omegle memang medsos yang mengkoneksikan kita dengan stranger random dan akan disconnect dengan sendirinya atau sesuka kita. Omegle itu medsos tanpa fitur pertemanan, profil, atau follow. Dari facebook juga aku kenal dengan teman dari Auckland, New Zealand. Ada juga orang dari Pakistan yang tiba-tiba mengirimkan inbox lalu kita saling bercerita banyak hal. Dari dunia maya aku menemukan banyak hal baru. 

Tapi memasuki sekolah SMA, ada yang berbeda. Medsos bukan hanya sebatas untuk mencari teman atau mengobrol. Mengunggah curhatan dan kehidupan jadi kebiasaan. Suka nebar status sebel, sedih, atau seneng. Unggah foto sama teman, lagi kemana, makan apa. Rasanya orang-orang harus tahu apapun yang terjadi dengan diri kita. Melakukan sesuatu hal juga untuk kepentingan eksistensi pribadi dengan cara menunjukkan semua hal diri kita di media sosial. Hal ini berlangsung sampai aku hampir memasuki kuliah semester akhir.

Lama-lama aku merasa capek sendiri apa-apa harus diunggah. Sempet mikir, nanti kalau fotoku sudah banyak di medsos, mau kuapain lagi. Tujuan akhir dari aku mengunggah foto-fotoku itu apa. Aku belum nemu alasan itu, akhirnya memutuskan untuk jarang mengunggah fotoku dan hal-hal yang kulakukan. Cukup kusimpan sendiri. 

Entah awalnya darimana, lama-lama aku mengartikan media sosial bukan hanya sekadar untuk senang-senang, tapi juga portofolio kita. Lebih baik media sosial kugunakan sebagai arsip yang bisa disuguhkan untuk orang lain. Semenjak itu media sosial jadi wadahku untuk menyimpan tulisan yang kusebut rak digital. 

Beberapa hari lalu dengerin podcast-nya Iqbal Hariadi tentang The Normal Life bahas skill yang sebaiknya kita miliki setelah pandemi Covid-19 ini selesai. Salah satu skill tersebut adalah personal branding. Sebenarnya skill ini dari dulu harusnya kita miliki, mungkin Iqbal bermaksud menegaskan karena personal branding juga bagian dari digital. Dimana kita seharusnya bisa branding diri kita agar orang-orang tahu apa passion kita dan apa yang bisa kita kontribusikan untuk orang-orang. Dengan sendirinya nanti kita akan punya koneksi. Dari cerita Iqbal, ada temannya yang bertahan hidup di Jerman dengan mengajarkan menari. Ketika ditanya bagaimana dia bisa mendapatkan job, dia bilang dari orang-orang yang melihat medsosnya. Padahal followers akunnya belum terbilang banyak, tapi orang ini memang mempunyai skill yang mumpuni. Sampai akhirnya aku merasa sayang banget medsos yang diciptakan dengan mikir keras hanya difungsikan untuk sekadar senang-senang. Harusnya sih bisa digunakan untuk naruh karya-karya, entah foto, tulisan, lukisan, suara, masakan, dan lainnya. 

Tapi nih, makin ke sini aku makin tidak suka dengan menulis tangan. Rasanya beda. Otakku membeku gitu aja ketika aku pegang pulpen dan lihat kertas. Tapi ketika pegang ponsel atau duduk di depan laptop otak encer aja rasanya mau nuangin apapun. Aku menyimpan banyak tulisan di medsos dan blog. Pake laptop juga udah jarang, karena enakan pake ponsel. Karena keseringan mengarsipkan tulisan di dunia maya, aku jadi kepikiran gimana kalau tiba-tiba medsos yang sering aku gunakan ini dihapus. Bisa saja instagram sekarang masih gemerlap, facebook meski sudah lama tapi masih saja ramai peminat, twitter yang sudah usang masih banyak yang suka ngetweet di sana, kelak nanti mereka semua akan digantikan dengan platform yang baru. Banyak hal yang berjaya pada masanya, lalu mau tidak mau harus terganti oleh inovasi baru. Bukan hal yang tidak mungkin. Atau beruntungnya jika mereka tetap bertahan tapi dengan tambahan-tambahan fitur yang lebih canggih di masa depan. Aku jadi menilik tulisanku yang tersimpan rapi di banyak platform. Siap tidak siap aku harus kehilangan mereka semua nantinya, entah kapan jika penghapusan benar terjadi. 

Selain itu aku juga merasa perlu berterima kasih untuk pembuat medsos dan platform blog. Tanpanya, mungkin aku nggak akan bisa punya tempat pulang untuk menyimpan serpihan-serpihan perasaan yang bingung harusnya aku taruh dimana. Aku nggak akan bertemu dengan teman-teman maya yang selama ini jadi tempat cerita dan bertanya, aku nggak akan bertemu dengan orang-orang yang tulisan dan karyanya membukakan aku pada banyak hal baru. Aku juga nggak akan tahu banyak belahan bumi yang punya cerita dan coraknya yang beda-beda. Dan tentunya, menghubungkan aku dengan teman-teman yang terpisah keadaan dan jarak. Medsos juga bisa digunakan untuk healing, kapan-kapan aku akan cerita hal ini. 

Sedihnya, beberapa medsos ditutup karena ulah manusia yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Omegle diblokir karena dianggap tempat  yang mengandung pornografi. Tumblr juga sempat hampir diakuisisi oleh Pornhub karena banyak pornografi di dalamnya. Padahal melalui omegle, aku bisa kenal anak fotografi, komunikasi, musik yang bercerita banyak hal tentang dunianya. Di Tumblr aku bisa banyak baca sudut pandang baru yang menenangkan hati. 

Ada pikiran yang terus berputar-putar, sepertinya lebih baik tulisan-tulisan itu aku bukukan sebelum hilang tanpa ada jejak yang tertinggal. Lebih sedih. Aku nggak bisa melihat Anik dulu di tahun entah kapan. Aku nggak bisa membaca jejak pemikiran Anik dulu yang masih piyik sampai sekarang jadi mbak-mbak rapuh. 

You May Also Like

0 komentar