Perempuan yang Aku Temui Tadi Siang

by - 21.05

Di sebelah seorang ibu yang memiliki tujuh anak, tenggorokanku tercekat melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tidak bisa menerka apa yang sedang dirasakannya. Anak dan suaminya masih utuh. Anak-anaknya bisa sekolah karena beasiswa, bahkan ada yang sudah menghafal Al-Quran. Kepada kami beliau bercerita, rumah yang ditinggalinya adalah warisan. Merasa bersyukur bisa mendidik banyak anak di dalam rumah yang bisa dikatakan cukup luas.

Kudapati matanya membasah setelah aku bertanya tentang anaknya. Pertanyaan selanjutnya di kepalaku hanya menggantung tak bisa kulontarkan. Aku membiarkan beliau menyelesaikan perasaannya sebelum kuat untuk bicara lagi. Suasana hening, tapi aku paham semua mata di ruangan ini sibuk mengartikan apa yang dilihatnya. Pikiran kami riuh tentang ibu yang ada di sampingku. 

Setelah beliau terlihat berhasil menenangkan dirinya sendiri, beliau mengucapkan sesuatu, "Kalau punya anak yang dekat dengan Al-Quran itu tenang rasanya." 

Dari situ aku paham, mungkin ada kerinduan yang tertahan dengan anak-anaknya di ujung sana yang masih harus menyelesaikan kewajiban di pesantren. Dari beliau aku tahu penghasilannya dan suami tidak seberapa untuk bisa menghidupi keluarga. Tapi yang kulihat, ada syukur yang membentang pada beliau. Dan seakan kulihat hal-hal berbau duniawi tak ingin digenggamnya. 

Di sudut yang lain, ada perempuan kuat yang sembunyi di balik tertawanya. Suami baginya hanyalah sebutan untuk laki-laki yang pernah menikahinya, bukan yang bertugas menafkahi. Karena untuknya, mencari nafkah adalah tugasnya sendiri. Bahunya cukup kuat atau sengaja dikuat-kuatkan untuk menanggung dua anak dan ibu yang tinggal bersamanya. Beruntung, anak perempuannya baru lulus sekolah lalu bekerja membantu mengepulkan dapurnya. 

Meski beliau terlihat tertawa berbicara dengan kami,  tapi dari cerita-ceritanya aku tahu hatinya tidak sedang baik-baik saja. Ada kecewa yang terpaksa harus ditelan. Hanya saja beliau mengalihkan untuk lebih mensyukuri apa yang masih ada. 

Ada perempuan-perempuan yang hatinya lebih sunyi karena kehilangan suaminya. Membesarkan sendiri anak-anaknya. Berjuang melanjutkan kehidupan tanpa ada peran laki-laki. Berat memang, tapi hidup memang kadang seperti itu memposisikan kita tidak bisa memilih.

***

Mereka adalah perempuan yang aku temui tadi siang. Jauh-jauh hari ramai memperbincangkan aksi untuk Ramadhan dengan teman-teman relawan. Datang juga hari yang dinanti-nanti. Hari ini merupakan hari pertama penyaluran bingkisan untuk keluarga kurang mampu yang membuat riweh sana sini. Terbayar setelah bertemu dengan para perempuan hebat di istananya yang megah dengan rasa syukur. 

Sebenarnya aksi yang kami laksanakan diperuntukkan untuk janda dan keluarga tidak mampu. Kebetulan yang disengaja Tuhan hari ini semua penerima bingkisan yang kita temui adalah para perempuan. Kami ngobrol sebentar untuk bertanya tentang keseharian dan upaya mencukupi kebutuhan di tengah pandemi ini. 

Ada yang suaminya masih sehat bugar, sudah meninggal, atau masih ada tapi tak nampak perannya. Aku melihat dari sorot mata mereka ada rasa mendalam yang menjelma dengan berbagai rupa. Dari mereka aku paham setiap manusia mempunyai jatah ujian dan nikmatnya masing-masing. Dan perempuan harus kuat dengan atau tanpa laki-laki.

*) Sengaja tidak mengunggah foto mereka untuk menjaga privasi.


You May Also Like

0 komentar