Izza di Mata Anik

by - 06.28

Pertama tahu dia saat aku diwawancarai seleksi masuk relawan 2016. Melihat dari cara bicara, berbahasa, dan mendengar suara aku sudah terkesan dengan dia. Awal masuk relawan sering manggil dengan tambahan 'Mbak' di depan namanya. Ternyata kita seangkatan. Jadilah aku hanya memanggil namanya sampai sekarang.

Entah, beberapa minggu ini aku lebih sering bertemu dia. Komunikasi melalui WA lebih intens dari sebelum-sebelumnya. Padahal dulu kita hanya sekadar kenal dan ngobrol saat ada acara relawan, tidak seakrab sekarang.

Suatu ketika, dia mengantarku pulang ke kos. Aku lupa karena apa, sebelum masuk kos dia sempat tertawa karena ulahku. Lalu dia bilang, "Aku kadang ingin seperti kamu yang bisa bercanda." Dalam hatiku, "Cewek pecicilan dan suka menertawai hal-hal receh itu bukan suatu kebanggaan. Padahal aku lebih ingin menjadi kamu." Tapi sayangnya, kalimat itu tidak sampai kuutarakan, karena masih terdiam terpaku mendengar pengakuannya.

Ditambah lagi, dia pernah bilang seperti ini saat perjalanan pulang dari pernikahan seorang teman relawan, "Terima kasih, ya. Setelah aku seminar proposal hanya kamu dan teman-teman relawan yang ngajak foto." Aku terpekur beberapa saat lalu membalas ucapannya, "Kemarin kan teman-temanmu yang lain banyak yang datang." Lalu dia menjawab, "Iya, tapi tidak akrab. Aku tidak punya teman di kampus." Saat itu aku merasa dibohongi. Dia seorang organisatoris yang kulihat hangat dan ceria, pintar beradaptasi, selalu punya bahan obrolan dengan orang-orang baru, tidak mungkin rasanya tidak memiliki seorang teman. Aku saja betah berlama-lama dengan dia. Dia selalu mempunyai pengetahuan-pengetahuan yang tidak terpikirkan olehku sebelumnya. "Tapi kamu kan orangnya pintar bergaul." Dia menjawab dengan nada rendah, "Hanya kelihatannya saja kok, Nik." Lalu aku terdiam.

Hari Minggu lalu setelah pulang panahan, aku bilang, "Aku ingat waktu bilang kamu ingin seperti aku, padahal aku yang ingin jadi kamu. Kamu itu wise, dewasa, menyenangkan, dan lainnya." Dia tertawa, lalu bilang, "Tapi aku suka lho cara kamu untuk membuat orang lain terbuka. Bercerita tentang dirinya ke kamu." Lagi-lagi dia menyebut fakta yang tidak kubenarkan. Karena aku merasa tidak seperti itu."Yaaa, mungkin kita bisa saling belajar," ucapnya.

Dia sering merendah bilang seperti ini, "Maaf, ya. Aku orangnya terlalu serius dan monoton." Aku tertawa lalu bilang, "Kamu begitu menyenangkan."

Semenjak obrolan itu aku berpikir, kadang ada hal yang tidak kita syukuri dalam diri kita padahal itu yang disukai orang lain. Ketidakbersyukuran itu ada ketika kita tidak benar-benar mengenal diri kita masing-masing. Itu karena kita terlalu sibuk mengenali orang lain sampai lupa dengan diri sendiri. Bagaimana pun itu, kita semua mempunyai sisi unik masing-masing.

art by @afifahpr


You May Also Like

0 komentar