Surat Untuk Para Orangtua

by - 13.38

*) Tulisan ini sudah pernah dimuat di inspirasi.co saat Event Surat terbuka





Surat ini saya tujukan untuk para wanita dan laki-laki yang sedang menyandang status ayah dan ibu. Sebelumnya perkenalkan dulu Ayah, Ibu. Saya adalah pemilik nama pena Anik Cahyanik. Seorang mahasiswi semester tua yang masih single tapi begitu menggilai dunia parenting. Semenjak kuliah di fakultas keguruan, saya menyukai dunia anak dan ilmu parenting. Ilmu yang saya dapat memanglah belum banyak. Hanya sebatas dari buku, grup parenting di media sosial, dan artikel di website online. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan para ayah dan ibu yang sudah belajar ilmu parenting melalui kehidupan yang sebenarnya, entah kalian masih baru atau bahkan sudah bertahun-tahun lamanya.

Maaf, saat kalian membaca surat terbuka ini mungkin terasa geli sekali. Kening kalian akan berkerut menerka-nerka, apa yang akan disampaikan gadis ingusan yang belum merasakan asam manisnya berumah tangga ini. Memang saya sadari, saya ini masih sebatas belajar teori, belum tahu dunia orang tua dan rumah tangga sebenarnya. Tapi melalui teori-teori itulah saya tahu banyak hal yang kurang tepat pada kalian.


Saya gemas sekali melihat orangtua masa kini. Apa sih Yah, Bu, yang ada pada benak kalian? Kenapa kalian begitu tega dan entengnya mengizinkan putra-putri kalian belajar naik motor, padahal mereka masih imut berseragam SD dan SMP. Dan kenapa kalian terlihat begitu santainya saat mendapati anak kalian begitu kecanduan dengan gadget? Berjam-jam lamanya mereka memelototi layar ponsel pintar sehingga mengabaikan sekitarnya. Bahkan, dengan mata kepala saya sendiri, ada seorang anak yang masih duduk di kelas 2 SMP sudah berani merokok dengan seizin orangtuanya. Di luaran sana saya juga mendapati hal serupa, tapi tidak tahu  apakah mereka juga mendapat izin orangtuanya ataukah sembunyi-sembunyi.

Kecemasan saya pada anak-anak masa kini bukan tanpa bukti. Suatu pagi seorang anak yang masih TK nol besar sudah khusyu’ menonton video kesurupan di Youtube. Dengan bangganya dia menunjukkan kepada saya video yang sedang dilihatnya dan kelihaiannya meggeser-geser layar sentuh ponselnya. Mau melarang, tapi saya tidak mempunyai hak akan itu. Kalau orangtuanya mengizinkan, apa mau dikata. Saya hanya takut dia membuka konten yang tidak sesuai dengan usianya. 

Seperti yang kita ketahui, saat memasukkan keyword apa pun di youtube atau google sering keluar dengan dibumbui konten-konten berbau dewasa. Apalagi yang membahayakan, si anak tersebut tanpa pendampingan orangtua membawa ponselnya kemana-mana. Bulan Ramadhan kemarin saat berangkat Salat tarawih, saya melihat ada anak-anak berjejer duduk rapi tanpa saling bicara. Mereka sibuk menggeser-geser ponsel canggih. Dan tahukah, jika ditaksir usia mereka masih seusia anak SD. Kebanyakan orangtua merasa adem ayem saat melihat anaknya diam anteng seperti itu.

Saya mendengar sendiri cerita dari seorang saudara bahwa anaknya kecanduan menonton televisi. Dan di Indonesia ini para ibu tanpa segan menonton sinetron di depan anak mereka. Padahal kebanyakan sinetron bukanlah tontonan yang mendidik. Jadilah besarnya, anak menjadi individu yang pasif karena hanya terbiasa mendengarkan dan cenderung malas untuk melakukan kegiatan di luar rumah.

Ibu mungkin tetap mengizinkan anaknya menonton televisi dengan alasan tayangan acara di Indonesia sudah lulus sensor—jika tidak menggunakan TV kabel. Akan tetapi, apakah kalian lupa bahwa acara smackdown yang tidak mengandung pornografi saja sempat meresahkan anak-anak kita. Karena kekerasan yang ditunjukkannya, anak menjadi meniru. Begitu juga dengan sinetron yang memperlihatkan remaja berpacaran. Kita temui banyak anak kecil sudah menyandang status pacaran seperti pasangan anak SD yang santer dibicarakan di media sosial karena memanggil pacarnya dengan sebutan Ayah Bunda (kalian pasti sudah tahu tanpa saya sebutkan namanya).

Okelah, mungkin membelikan motor dan ponsel adalah hal murah bagi kalian yang berada di ekonomi kalangan menengah. Perkembangan teknologi itu baik, kalau kita bisa mem-filter. Tidak ada salahnya sebagai orangtua mengenalkan teknologi pada anak. Tak bisa dipungkiri juga kita dituntut melek  teknologi di era serba instans ini. Tapi Yah, Bu. Tolonglah jangan hanya bisa memberi anak fasilitas tanpa mendampinginya. Izinkan anak menggunakan gadgetnya dengan pengawasan kalian. Jangan mengajari anak naik motor jika usianya belum cukup matang.

Sebenarnya ini sudah menjadi permasalahan lama. Pada portal berita dan koran cetak sudah berjejer rapi isu pelecehan seksual yang dilakukan anak SMP dan kecelakaan motor  pada anak dibawah usia 17 tahun. Tapi sama sekali tak membuat orangtua jera untuk membiarkan anaknya. Saya yang belum merasakan mempunyai anak saja sudah merinding membaca berita-berita itu. Bayangan saya melompat jauh pada beberapa tahun ke depan saat saya telah merasakan mendidik anak. Saya membayangkan jika pergaulan pada zaman anak saya semakin mencemaskan.

Jangan marah, jika anak ayah dan ibu sudah kecanduan menonton film dewasa, menghabiskan uang untuk membeli rokok, kebut-kebutan naik motor, dan begitu lengketnya dengan gadget dibandingkan dengan kalian. Karena dari awal kalian kurang memperhatikan mereka. Bukan bermaksud menggurui, saya di sini hanya meluapkan unek-unek saat melihat realita sekitar yang semakin miris. Dan ingin menyampaikan apa yang pernah saya baca, dengar, dan lihat. Dari hasil belajar tentang parenting, ada suatu kesimpulan yang dapat saya tarik dari berbagai macam artikel tersebut, yaitu anak itu tidak akan mempan jika hanya dilarang, tapi bagaimana cara orangtua untuk mendampingi dan mendidiknya dari awal.

Kalau dari awal kenal gadget saja mereka sudah diberi kebebasan, maka akan sulit untuk menghentikan kecanduannya. Dari gadget saja, anak sudah bisa belajar banyak hal, terlebih meniru tindakan orang-orang dewasa yang belum semestinya. Jangan merasa bangga saat melihat anak kalian masih kecil tapi sudah difasilitasi dengan barang-barang mewah. Namun, merasalah merugi jika sebagai orangtua kalian tidak bisa mendampingi anak-anak untuk belajar, dan bahkan kalian sendiri lebih sibuk dengan gadget masing-masing.

Yuk mari Yah, Bu! Jadikan keluarga kecil kalian adalah potongan surga untuk anak-anak. Dimana anak-anak merasa nyaman menjadikan kalian sebagai teman belajar dan bermain. Belajarlah untuk menjadi tempat pulang segala pertanyaan anak-anak, agar mereka tidak salah belajar dan bertanya pada orang lain. Kebanyakan anak zaman sekarang terjerumus karena rasa ingin tahunya tinggi dan memilih untuk mencari tahu pada orang lain karena malu pada orangtuanya sendiri, atau merasa orangtuanya tidak mempunyai waktu untuk sekadar mendengarkan tentang cerita di sekolahnya.

 Jangan mulai resah dan mecegah jika sudah terjadi hal buruk pada anak. Lebih baik dari sekarang kita mulai memperbaiki sikap kita. Dan satu hal lagi, jangan berpikiran untuk menyerahkan semua pendidikan anak pada sekolah. Karena sebenarnya, pendidikan pertama dan terbaik dimulai dari rumah. Di istana kecil keluarga lah karakter anak mulai terbentuk dan lebih besar untuk bisa dipengaruhi.

Saya minta maaf jika lancang sekali menulis surat terbuka ini untuk orang-orang yang lebih berpengalaman dari saya. Sekali lagi, saya juga masih belajar dan mari sama-sama kita berproses untuk menjadi orangtua atau pun calon orangtua yang lebih baik lagi. Masa depan anak bangsa ada pada kita. Jangan tumpukan masa depan negara ini pada anak-anak tanpa kita pernah memperhatikan pendidikannya.
Mari kita sama-sama belajar untuk menjadi orangtua yang lebih baik lagi. Karena siapa pun anak itu, kita semualah orangtuanya. Kita bertanggung jawab untuk menjaga semua anak di negara ini J

Salam hangat,

Calon seorang ibu





You May Also Like

2 komentar