Surat Untuk Para Orangtua
*) Tulisan ini sudah pernah dimuat di inspirasi.co saat Event Surat terbuka
Surat ini saya tujukan untuk para
wanita dan laki-laki yang sedang menyandang status ayah dan ibu. Sebelumnya
perkenalkan dulu Ayah, Ibu. Saya adalah pemilik nama pena Anik Cahyanik.
Seorang mahasiswi semester tua yang masih single tapi begitu menggilai dunia parenting. Semenjak kuliah di fakultas
keguruan, saya menyukai dunia anak dan ilmu parenting.
Ilmu yang saya dapat memanglah belum banyak. Hanya sebatas dari buku, grup parenting di media sosial, dan artikel
di website online. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan para ayah dan ibu
yang sudah belajar ilmu parenting
melalui kehidupan yang sebenarnya, entah kalian masih baru atau bahkan sudah
bertahun-tahun lamanya.
Maaf, saat kalian membaca surat terbuka
ini mungkin terasa geli sekali. Kening kalian akan berkerut menerka-nerka, apa
yang akan disampaikan gadis ingusan yang belum merasakan asam manisnya berumah
tangga ini. Memang saya sadari, saya ini masih sebatas belajar teori, belum
tahu dunia orang tua dan rumah tangga sebenarnya. Tapi melalui teori-teori
itulah saya tahu banyak hal yang kurang tepat pada kalian.
Saya gemas sekali melihat orangtua masa
kini. Apa sih Yah, Bu, yang ada pada benak kalian? Kenapa kalian begitu tega
dan entengnya mengizinkan putra-putri kalian belajar naik motor, padahal mereka
masih imut berseragam SD dan SMP. Dan kenapa kalian terlihat begitu santainya
saat mendapati anak kalian begitu kecanduan dengan gadget? Berjam-jam lamanya
mereka memelototi layar ponsel pintar sehingga mengabaikan sekitarnya. Bahkan,
dengan mata kepala saya sendiri, ada seorang anak yang masih duduk di kelas 2
SMP sudah berani merokok dengan seizin orangtuanya. Di luaran sana saya juga
mendapati hal serupa, tapi tidak tahu apakah mereka juga mendapat izin orangtuanya
ataukah sembunyi-sembunyi.
Kecemasan saya pada anak-anak masa kini
bukan tanpa bukti. Suatu pagi seorang anak yang masih TK nol besar sudah
khusyu’ menonton video kesurupan di Youtube. Dengan bangganya dia menunjukkan
kepada saya video yang sedang dilihatnya dan kelihaiannya meggeser-geser layar
sentuh ponselnya. Mau melarang, tapi saya tidak mempunyai hak akan itu. Kalau
orangtuanya mengizinkan, apa mau dikata. Saya hanya takut dia membuka konten
yang tidak sesuai dengan usianya.
Seperti yang kita ketahui, saat memasukkan keyword apa pun di youtube atau google
sering keluar dengan dibumbui konten-konten berbau dewasa. Apalagi yang
membahayakan, si anak tersebut tanpa pendampingan orangtua membawa ponselnya
kemana-mana. Bulan Ramadhan kemarin saat berangkat Salat tarawih, saya melihat
ada anak-anak berjejer duduk rapi tanpa saling bicara. Mereka sibuk
menggeser-geser ponsel canggih. Dan tahukah, jika ditaksir usia mereka masih
seusia anak SD. Kebanyakan orangtua merasa adem ayem saat melihat anaknya diam
anteng seperti itu.
Saya mendengar sendiri cerita dari
seorang saudara bahwa anaknya kecanduan menonton televisi. Dan di Indonesia ini
para ibu tanpa segan menonton sinetron di depan anak mereka. Padahal kebanyakan
sinetron bukanlah tontonan yang mendidik. Jadilah besarnya, anak menjadi
individu yang pasif karena hanya terbiasa mendengarkan dan cenderung malas
untuk melakukan kegiatan di luar rumah.
Ibu mungkin tetap mengizinkan anaknya
menonton televisi dengan alasan tayangan acara di Indonesia sudah lulus
sensor—jika tidak menggunakan TV kabel. Akan tetapi, apakah kalian lupa bahwa
acara smackdown yang tidak mengandung
pornografi saja sempat meresahkan anak-anak kita. Karena kekerasan yang
ditunjukkannya, anak menjadi meniru. Begitu juga dengan sinetron yang
memperlihatkan remaja berpacaran. Kita temui banyak anak kecil sudah menyandang
status pacaran seperti pasangan anak SD yang santer dibicarakan di media sosial
karena memanggil pacarnya dengan sebutan Ayah Bunda (kalian pasti sudah tahu
tanpa saya sebutkan namanya).
Okelah, mungkin membelikan motor dan
ponsel adalah hal murah bagi kalian yang berada di ekonomi kalangan menengah. Perkembangan
teknologi itu baik, kalau kita bisa mem-filter.
Tidak ada salahnya sebagai orangtua mengenalkan teknologi pada anak. Tak bisa
dipungkiri juga kita dituntut melek
teknologi di era serba instans ini. Tapi Yah, Bu. Tolonglah jangan hanya
bisa memberi anak fasilitas tanpa mendampinginya. Izinkan anak menggunakan gadgetnya
dengan pengawasan kalian. Jangan mengajari anak naik motor jika usianya belum
cukup matang.
Sebenarnya ini sudah menjadi
permasalahan lama. Pada portal berita dan koran cetak sudah berjejer rapi isu
pelecehan seksual yang dilakukan anak SMP dan kecelakaan motor pada anak dibawah usia 17 tahun. Tapi sama
sekali tak membuat orangtua jera untuk membiarkan anaknya. Saya yang belum
merasakan mempunyai anak saja sudah merinding membaca berita-berita itu.
Bayangan saya melompat jauh pada beberapa tahun ke depan saat saya telah
merasakan mendidik anak. Saya membayangkan jika pergaulan pada zaman anak saya
semakin mencemaskan.
Jangan marah, jika anak ayah dan ibu
sudah kecanduan menonton film dewasa, menghabiskan uang untuk membeli rokok,
kebut-kebutan naik motor, dan begitu lengketnya dengan gadget dibandingkan
dengan kalian. Karena dari awal kalian kurang memperhatikan mereka. Bukan
bermaksud menggurui, saya di sini hanya meluapkan unek-unek saat melihat
realita sekitar yang semakin miris. Dan ingin menyampaikan apa yang pernah saya
baca, dengar, dan lihat. Dari hasil belajar tentang parenting, ada suatu kesimpulan yang dapat saya tarik dari berbagai
macam artikel tersebut, yaitu anak itu tidak akan mempan jika hanya dilarang,
tapi bagaimana cara orangtua untuk mendampingi dan mendidiknya dari awal.
Kalau dari awal kenal gadget saja
mereka sudah diberi kebebasan, maka akan sulit untuk menghentikan kecanduannya.
Dari gadget saja, anak sudah bisa belajar banyak hal, terlebih meniru tindakan
orang-orang dewasa yang belum semestinya. Jangan merasa bangga saat melihat
anak kalian masih kecil tapi sudah difasilitasi dengan barang-barang mewah.
Namun, merasalah merugi jika sebagai orangtua kalian tidak bisa mendampingi
anak-anak untuk belajar, dan bahkan kalian sendiri lebih sibuk dengan gadget
masing-masing.
Yuk mari Yah, Bu! Jadikan keluarga
kecil kalian adalah potongan surga untuk anak-anak. Dimana anak-anak merasa
nyaman menjadikan kalian sebagai teman belajar dan bermain. Belajarlah untuk
menjadi tempat pulang segala pertanyaan anak-anak, agar mereka tidak salah
belajar dan bertanya pada orang lain. Kebanyakan anak zaman sekarang terjerumus
karena rasa ingin tahunya tinggi dan memilih untuk mencari tahu pada orang lain
karena malu pada orangtuanya sendiri, atau merasa orangtuanya tidak mempunyai
waktu untuk sekadar mendengarkan tentang cerita di sekolahnya.
Jangan
mulai resah dan mecegah jika sudah terjadi hal buruk pada anak. Lebih baik dari
sekarang kita mulai memperbaiki sikap kita. Dan satu hal lagi, jangan
berpikiran untuk menyerahkan semua pendidikan anak pada sekolah. Karena
sebenarnya, pendidikan pertama dan terbaik dimulai dari rumah. Di istana kecil
keluarga lah karakter anak mulai terbentuk dan lebih besar untuk bisa dipengaruhi.
Saya minta maaf jika lancang sekali
menulis surat terbuka ini untuk orang-orang yang lebih berpengalaman dari saya.
Sekali lagi, saya juga masih belajar dan mari sama-sama kita berproses untuk
menjadi orangtua atau pun calon orangtua yang lebih baik lagi. Masa depan anak
bangsa ada pada kita. Jangan tumpukan masa depan negara ini pada anak-anak
tanpa kita pernah memperhatikan pendidikannya.
Mari kita sama-sama belajar untuk
menjadi orangtua yang lebih baik lagi. Karena siapa pun anak itu, kita semualah
orangtuanya. Kita bertanggung jawab untuk menjaga semua anak di negara ini J
Salam hangat,
Calon seorang ibu
2 komentar
Noted...terimakasih tulisannya
BalasHapusTerima kasih sudah mampir mbak wid :)
Hapus