[Fiksi Mini] Setujuan

by - 16.51

"Tapi, aku cinta..," ucapku ragu-ragu. Lirih tapi aku yakin masih tertangkap oleh pendengaran Lidya. Rumahnya lengang malam ini hanya dihuni oleh Lidya dan aku yang menumpang menginap.

"Han, cinta itu apa sih sebenernya? Apa yang kamu rasain itu bener-bener cinta atau hanya ketertarikan, obsesi ingin memiliki, atau bahkan rasa ketergantungan karena sudah lama menjalin hubungan dengannya?"

Ucapan Lidya seperti baja yang menghantam keras pikiranku. Beberapa saat kemudian manusia macam aku yang mengaku sudah baik dalam mencintai merasa bodoh untuk menjawab pertanyaannya. Lidya tahu aku tak punya jawaban atas pertanyaanya. Dilihatinya aku yang sedang termenung sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Atau jangan-jangan, kita tahu arti cinta setelah menikah. Menemukan arti cinta yang sebenarnya. Kamu yakin apa yang dia lakukan ke kamu itu karena cinta?"

Aku diam, Lidya amat paham jika sudah seperti ini berarti aku ingin berbicara dengan diri sendiri. Suasana rumahnya semakin sunyi, suara kendaraan dan klakson terdengar berkejaran di luar. Ada cangkir teh semeja di antara dua perempuan yang keduanya sama-sama mempersilakan satu sama lain untuk berbicara dengan sunyi. 

***
Aku menatap lama sebuah pamflet di media sosial yang bertuliskan pembukaan pendaftaran pengabdian di pedalaman. Jauh dalam hati kecilku aku tertarik, tapi seandainya aku mendaftar berarti menabuh genderang perang kedua kalinya. Baru seminggu yang lalu pertengkaran sengitku dan Dimas berkobar seperti nyala api yang melalap kesabaranku. 

"Untuk apa membuang waktu demi orang lain yang tidak kamu kenal, dan bahkan kamu juga tidak digaji," katanya ketika aku menceritakan ingin mendaftar pengabdian di Lombok. Aku ingin merasakan kehangatan suku Sasak selama dua minggu dan melihat lebih dekat ketinggian Gunung Rinjani yang begitu pongahnya. ⁣Mengambil cuti kerja yang sudah lama tak kumanfaatkan. Menepi dari kebisingan kota. 

Hubunganku dengan Dimas sudah hitungan tahun meski belum genap menghabiskan sepuluh jari. Selama itu juga perasaanku mengakar kuat sampai aku menahan untuk mengalah, menuruti segala kemauannya. Tidak mengikuti promosi jabatan di kantor, tidak bergabung di komunitas sosial agar tidak menyita waktu katanya, dan yang kemarin membatalkan rencanaku mendaftar pengabdian. 

Katanya, nanti dia ingin aku menjadi ibu rumah tangga. Sehingga aku tidak perlu memiliki karir yang cemerlang, daripada nanti aku merasa sayang untuk meninggalkan pekerjaan setelah menikah, begitu alasannya. 

"Yasudah, kalau begitu, aku hanya ingin mengikuti kegiatan sosial."

Kupikir dia akan menyukai keinginanku, rupanya alasan kemanusiaan juga tak cukup meluluhkan hatinya. Aku merasa terkungkung hidup dalam penjaranya. 

Lidya benar apakah yang dia lakukan itu dibenarkan atas nama cinta? Suara-suara itu timbul dan hilang dari pikiranku. Sampai akhirnya aku memilih untuk menepi dari kebisingan suara Dimas yang lebih dominan mengatur hidupku. 

"Kamu harus tegas ambil keputusan, maumu apa lalu putuskan." ucap Lidya malam itu. 

"Han, menikah itu nggak hanya butuh cinta, tapi juga butuh orang yang setujuan. Kamu merasa Dimas setujuan sama kamu nggak?"

Ini masih belum menikah, bagaimana nanti? 

Berhari-hari aku berkelahi dengan batinku sendiri. Kucoba sisihkan perasaan-perasaan untuk Dimas. Menilik perjalanan ke belakang bersamanya. Dan aku merasa kehilangan diriku sendiri.

***
"Han, itu artinya kamu lolos?" Pesan whatsapp Lidya mendarat di ponselku setelah tiga menit lalu aku mengirim foto email yang kuterima dari yayasan sosial pendidikan nasional.

Berbulan-bulan aku bungkam tentang ini dari Dimas dan Lidya. Sibuk menyiapkan essai dan persyaratan seleksi lain tanpa mereka tahu. Setelah benar-benar lolos kali ini baru aku memberitahunya tanpa mengajak bertemu seperti yang pernah terjadi. Daripada hatiku goyah dan tunduk patuh karena tersihir dengan ucapan Dimas yang mengandung mantra hipnotis. 

"Iya lolos." Kubalas lalu bercentang biru dengan cepat. Kulihat di ujung sana Lidya sedang mengetik pesan.

"Boleh sama Dimas?"

"Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa, dia bukan suamiku yang harus aku turuti kemauannnya."

"Kamu serius? Ini pengabdiannya setahun lho, Han."

Bersamaan dengan itu pesan Dimas masuk.

"Kalau kamu mau pergi, pergilah. Tapi bukan lagi aku yang menjadi tempat pulangmu."

Ada yang perih, tapi ini adalah konsekuensi atas hal yang aku kupilih. Keputusan mahal yang harus kubayar dengan mengorbankan hal besar. 

Selesai~

You May Also Like

4 komentar

  1. Ahhhh, menohok. Kadang cinta sama seseorang memang berat gitu. Apalagi kalau beda prinsip dan tujuan.

    BalasHapus
  2. Kalau beda prinsip dan tujuan, lantas kita mencintai dia karena apa? Hihiw

    BalasHapus